Undang-undang yang diproduksi semata-mata disiapkan agar kekuasaan bisa mengkonsolidasikan dirinya. Itu tampak jelas dengan disahkannya UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU BUMN, dan UU TNI.
Sementara UU Perampasan Aset yang dituntut publik tidak mendapatkan tempat di mata elite partai politik karena tidak menguntungkannya.
Stasiun televisi bahkan harus mengoreksi diskusi soal UU Perampasan Aset.
Situasi politik seperti sekarang tercipta karena praktik demokrasi "doltinuku" atau "demoracy for sale" yang diteorikan Aspinall Publik masih ingat bagaimana elite politik tersangkut kasus hukum tetap aman-aman saja, sejauh berada dalam lingkup kekuasaan.
Namun sebaliknya, mereka yang bersuara keras, tapi punya cacat hukum, harus berhadapan dengan hukum. Praktik seperti ini pernah dilakukan Oscar Bonavides, diktator Peru, 1933-1939. "For my friends, everything. For my enemies, the law." (Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum).
Bukankah situasi itulah yang sedang dihadapi bangsa ini? Bangsa yang tengah berada di simpang jalan, antara negara kekuasaan dan negara demokrasi konstitusional? Pemimpin populis melakukan apa yang Thomas Power (2020: 298) atau Nancy Bermeo (2016) sampaikan dalam jurnal "Democracy Backsliding" sebagai the executive weaponization of law enforcement.
Penegakan hukum sebagai senjata politik oleh kekuasaan eksekutif dilaksanakan sepenuhnya dengan sangat selektif.
Terhadap elite politik yang mau beraliansi dengan pemimpin populis, hukum tidak ditegakkan sekalipun mereka berlumuran dengan kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Asalkan loyal dan tunduk pada kehendak kekuasaan, mereka memperoleh proteksi hukum. Terjadinya disfungsi partai politik tercermin pada kemandulan DPR sebagai lembaga pengawas. DPR seakan menutup mata maraknya unjuk rasa yang disertai dengan kekerasan.
DPR seakan tak melihat bagaimana praktik rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai komisaris BUMN, didiamkan padahal jelas-jelas melanggar UU Kementerian Negara.
Entah apa tafsir DPR terhadap pasal 23 UU Kementerian Negara yang dirumuskan DPR sebagai berikut: Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;