BREAKING NEWS
Selasa, 22 Juli 2025

Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik

Redaksi - Kamis, 22 Mei 2025 07:56 WIB
215 view
Masalah Perlindungan Hukum Sertifikat Tanah Elektronik
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh karena itu, dengan kemajuan teknologi informasi, mendorong digitalisasi layanan pendaftaran tanah dalam transformasi digital dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan pertanahan, menjamin keamanan, dan keaslian data hak atas tanah. Juga, mempermudah transaksi dan pencatatan hukum atas tanah serta mengurangi risiko kehilangan atau pemalsuan sertifikat.

Namun, kendala utama pemerintah dalam membangun sistem sertifikasi tanah elektronik ialah masalah kesiapan infrastruktur digital di seluruh wilayah Indonesia dan bagaimana perlindungan dan keamanan data pribadi maupun dokumen negara.

Di sisi lain, belum terbentuk kepercayaan masyarakat, terutama di perdesaan, terhadap sertifikat elektronik. Meskipun masyarakat perdesaan sudah melek digital, dalam hal sertifikat tanah, kepemilikan hak atas tanah harus ditunjukkan dengan sertifikat fisik.

Karena itu, harus diadakan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat dan juga integrasi dengan sistem yang lain seperti perpajakan, perbankan, dan perizinan. Dengan demikian, harus dilakukan penguasaan keamanan siber dan server nasional, pelatihan sumber daya manusia untuk literasi publik, regulasi yang adaptif, penguatan infrastruktur digital.

TANTANGAN KE DEPAN

Salah satu pertanyaan publik terkait dengan sertifikat elektronik, di luar dari kesiapan infrastruktur digital dan keamanan data, ialah masalah pembuktian hak jika sengketa tanah masuk ranah pengadilan. Sejauh ini payung hukum alat bukti elektronik di pengadilan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik, sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Namun, UU ITE berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20 Tahun 2016 diklasifikasi sebagai pembuktian dalam hukum pidana, bukan perdata. Demikian juga, SEMA Nomor 14 Tahun 2010 tidak ditujukan mengatur tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti di persidangan, tetapi sebagai dokumen elektronik berupa putusan atau dakwaan yang dimasukkan ke dalam perangkat penyimpan dokumen (soft file).

Dalam praktik peradilan perdata, sampai saat ini belum tersedia hukum acara terkait dengan perlindungan hukum dan pembuktian pemilik sertifikat tanah elektronik, termasuk belum ada pengaturan rinci tentang ganti rugi atas perlindungan pemilik sertifikat, jika sistem elektronik mengalami gangguan sehingga kehilangan data.

Selain itu, bagaimana dengan sengketa sertifikat elektronik terkait dengan keabsahan sertifikat elektronik di pengadilan. Penanganan kasus pemalsuan atau peretasan data (manipulasi digital) belum spesifik di atur dalam perlindungan hukum dan sanksinya.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah dan pembentuk undang-undang mulai mempersiapkan hukum acaranya secara terperinci dan pengawasan ekternal terkait dan bagaimana sistem ini diaudit secara berkala untuk memastikan keabsahan data, serta perlu pembentukan peraturan (SOP) yang mencakup asas-asas transparansi, perlindungan hukum, dan kepastian hukum bagi pemegang hak, serta melakukan pengawasan independen terhadap sistim digitalisasi, yang menyediakan keamanan dan enkripsi data melalui teknologi blockchain untuk transparansi dan pencatatan yang tidak bisa diubah.* (mediaindonesia.com)

*)Ketua & Sekretaris Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (PK HASA)

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
komentar
beritaTerbaru