BREAKING NEWS
Minggu, 22 Juni 2025

Ancaman Pelanggaran HAM di Balik Personalisasi Konten Berbasis AI

Redaksi - Minggu, 22 Juni 2025 07:45 WIB
55 view
Ancaman Pelanggaran HAM di Balik Personalisasi Konten Berbasis AI
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Dr. Firman Kurniawan S

CONTOH termudah memahami personalisasi konten, adalah tawaran konten yang tersaji di media digital. Di platform tersebut preferensi disesuaikan kepada tiap-tiap khalayak. Ini lantaran algoritmanya telah terlacak.

Bayangkan, bagaimana ketika semua informasi untuk semua orang ini terjadi di zaman media analog. Pelaku bisnis keuangan harus menerima sajian berita kriminalitas atau pertandingan olah raga, yang sama sekali tak diminatinya. Sementara, penggemar fashion and lifestyle disodori siaran TV bertema politik atau dinamika pasar saham, yang asing baginya. Di situ, ada informasi yang sia-sia karena tak dikonsumsi. Memang, dalih pelaku medianya adalah keragaman informasi bertujuan mengakomodasi berbagai karakteristik khalayak. Lagi pula, informasi yang tak sesuai hari ini bisa berguna di saat lain.

Baca Juga:

Namun saat dikaji dari sisi ekonominya, merupakan bentuk produksi yang tak balik modal. Ini lantaran sangat jarang ada khalayak yang mengkonsumsi semua jenis informasi. Khalayak sudah punya preferensi. Harapan media dapat menjangkau seluruh khalayak, justru menjadikan informasi yang bermanfaat hanya sebagian. Khalayak dibebani pembayaran yang tak perlu. Akibat ada informasi yang tetap hadir, tapi tak dimanfaatkan.

Namun seluruh keadaan berubah, saat media digital hadir. Ini termasuk yang diberdayakan artificial intelligence (AI). Personalisasi konten disusun berbasis algoritma, yang dilacak dari riwayat penggunaan perangkat digital khalayak. Algoritma ini mampu mengenali preferensi khalayak. Dalam penelitian yang dilakukan Vaclav Moravec, Nik Hynek, Marinko Skare, Beata Gavurova dan Volodymyr Polishchuk, 2025, berjudul Algorithmic Personalization: A Study of Knowledge Gaps and Digital Media Literacy, dengan mengacu pada penelitian yang dilakukan Xu et al, 2022, personalisasi konten dimengerti sebagai penyesuaian informasi berdasar kebutuhan, preferensi, atau perilaku pengguna perangkat digital. Seluruh proses ini bertujuan, memastikan pengguna mendapatkan konten yang sesuai dengan minat maupun kebutuhannya berdasar data. Data itu bersumber dari riwayat pencarian, perilaku online, maupun demografi yang sering terungkap saat menggunakan perangkat digital.

Penerapan personalisasi berelasi dengan semua media digital, termasuk layanan semacam video streaming: Netflix, Amazon Prime Video, maupun Disney Channel. Layanan itu mempersonalisasi tawaran tontonan, berdasar preferensi khalayak. Penyusunannya juga didahului dengan memetakan perilaku kepenontonan, yaitu pilihan tema, asal negara yang dikisahkan, pilihan artis yang digemari, hingga cara menikmati video.

Cara menikmati ini, bervariasi, seperti sekali menonton untuk seluruh episode serial. Ini dikenal sebagai binge watching. atau menonton bertahap dalam durasi waktu yang relatif sama, tiap menonton. Personalisasi sering mengakibatkan pengalaman kepenontonan yang memuaskan. Khalayak merasa dirinya dipahami. Pilihan yang ditawarkan, sesuai dengan karakternya yang teralgoritma. Hal lain yang juga penting menyangkut personalisasi: munculnya perasaan tak adanya tawaran yang sia-sia. Khalayak tak merasa rugi harus membayar konten yang tak dinikmatinya. Personalisasi yang jitu, mampu memetakan konsep diri khalayak. Karenanya, jadi ciri layanan yang mengandalkan media digital hari ini. Personalisasi adalah ideologi teknologi informasi.

Kendati demikian, jitunya personalisasi terus disempurnakan. Ini akibat penerapannya yang tak selalu mampu memutlakkan hasil. Penyempurnaan dilakukan agar perangkat mampu menyimpan dan mengolah data dalam ukuran lebih besar. Ukuran yang berimplikasi pada jangkauan algoritma, identik dengan realitas. Hanya saja, seluruhnya bukan tanpa masalah. Personalisaasi berhadapan dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM).

Jika dirunut, persoalan HAM dimulai sejak awal penyusunan algoritma. Data pemetaan dikumpulkan terus-menerus, mulai saat khalayak membuka e-mail, menyelami website, mengunggah konten media sosial dan berkomentar, mengirim pesan percakapan, melakukan pembelian, hingga menulis prompt di aplikasi berbasis AI. Selalu ada digital path yang tertinggal. Bahkan saat perangkat digital dinyalakan saja, produksi digital path tetap berlangsung. Misalnya Google yang tetap mecatat lintasan perjalanan, walaupun tak diminta penggunanya.

Seluruh pengumpulan data itu, akhirnya tak berbeda dengan pengawasan terus menerus. Pengawasan yang, dalam novel 1984 karya George Orwel, 1949, dilakukan oleh Big Brother, tak selalu disadari penggunanya. Ada ruang privat khalayak yang diakses perangkat yang tidak bisa dihindari. Artinya, ada pihak di luar pengguna, tanpa persetujuan secara eksplisit memasuki ruang.

Berikutnya, dari data yang terkumpul itu dilakukan pemilahan. Tujuannya menemukan data yang bernilai. Memilah untuk menemukan data bernilai, pasti dengan lebih dulu mengakses seluruh data kemudian memisahkannya dari yang tak bernilai. Sebab tak mungkin, data yang bernilai muncul dengan sendirinya dan diproses untuk penyusunan algoritma. Pengembang media digital menggunakan keleluasaannya, mengakses seluruh data.

Oleh karena itu, relevan dipertanyakan, hak apa yang dimiliki pengembang media digital, sehingga dapat mengakses data penggunanya tanpa batas? Ketika tak ada satu hak pun yang membenarkannya, terjadilah pelanggaran HAM terhadap penggunanya. Saat algoritma telah tersusun, penggunaannya untuk personalisasi masih dibayang-bayangi persoalan HAM. Hak khalayak untuk memperoleh informasi yang benar, tereliminasi.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Pria di Sergai Dilaporkan karena Hina Bupati dan Kapolres di Facebook, Polisi Dalami Dugaan Pelanggaran UU ITE
Pengamat Unsoed: Regulasi Penggunaan AI Mendesak Dipercepat, Hoaks Kian Sulit Diidentifikasi
komentar
beritaTerbaru