BREAKING NEWS
Rabu, 05 November 2025

Luhut soal Revisi Garis Kemiskinan: Bukan Hal Aneh, Tapi Kebutuhan

- Kamis, 12 Juni 2025 12:25 WIB
Luhut soal Revisi Garis Kemiskinan: Bukan Hal Aneh, Tapi Kebutuhan
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (12/6/2025). (foto:kmps)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA – Dewan Ekonomi Nasional (DEN) tengah melakukan pengkajian ulang terhadap garis kemiskinan nasional yang saat ini masih berada di angka Rp 595.000 per kapita per bulan.

Hal ini dilakukan guna menyesuaikan standar penghitungan kemiskinan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan aktual masyarakat Indonesia.

Ketua DEN, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa revisi ini bukan sesuatu yang mengejutkan, melainkan langkah yang memang sudah seharusnya dilakukan demi meningkatkan akurasi data serta efektivitas program bantuan pemerintah seperti makan bergizi gratis dan food estate.

"Jadi bukan menandakan tidak baik, tapi memang angka ini setelah perubahannya harus betul-betul dilihat lagi. Dan itu saya kira sudah kita siapkan laporannya pada Presiden," ujar Luhut saat ditemui di JCC, Kamis (12/6/2025).

Menurut Luhut, kajian tersebut telah dibahas bersama Badan Pusat Statistik (BPS) sejak beberapa waktu lalu, dan laporan akhir akan segera disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto.

Jika disetujui, angka garis kemiskinan yang baru kemungkinan akan diumumkan pada tahun ini dan digunakan sebagai referensi dalam pidato resmi presiden.

Sementara itu, anggota DEN Arief Anshory Yusuf menilai, standar garis kemiskinan saat ini terlalu rendah. Ia mengusulkan agar angka tersebut dinaikkan menjadi Rp 765.000 per bulan, mempertimbangkan status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (Upper Middle Income Country/UMIC) sejak 2023, dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar 4.580 dolar AS.

"Dengan jarak kurang dari Rp 50.000 per bulan dari batas kemiskinan ekstrem global, ini memberi sinyal bahwa standar nasional kita terlalu rendah untuk negara menengah seperti Indonesia," jelas Arief.

Pengkajian ulang ini diharapkan bisa menghadirkan kebijakan sosial yang lebih adil dan adaptif, sekaligus menjadi basis data yang lebih akurat untuk menyalurkan bantuan dan mengukur kesejahteraan masyarakat.*

(km/j006)

Editor
:
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru