JAKARTA — Polemik terkait status kepemilikan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara menjadi sorotan tajam terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam hal koordinasi dan pengambilan keputusan strategis.
Kegaduhan dimulai setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan empat pulau, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, sebagai wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Kebijakan ini segera mendapat reaksi keras dari Pemerintah Aceh, DPR RI dapil Aceh, hingga masyarakat luas.
Dari Moskow, Rusia, tempat ia tengah melakukan kunjungan kenegaraan, Prabowo memimpin rapat terbatas secara virtual pada Selasa (17/6), diikuti sejumlah tokoh dan pejabat negara, termasuk Mendagri Tito Karnavian, Mensesneg Prasetyo Hadi, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, dan Gubernur Sumut Bobby Nasution.
Hasil rapat memutuskan pengembalian status kepemilikan empat pulau tersebut kepada Provinsi Aceh.
"Kami mewakili pemerintah berharap putusan ini menjadi jalan keluar baik bagi kita semua. Ini adalah solusi untuk mengakhiri dinamika di tengah masyarakat," ujar Mensesneg Prasetyo dalam keterangan pers di Istana Negara.
Sejumlah pakar menilai polemik ini mencerminkan lemahnya koordinasi dalam pemerintahan.
Muhammad Yoppy, peneliti dari Pusat Studi Kebijakan Negara FH UNPAD, menilai absennya koordinasi efektif antara kementerian dan presiden menyebabkan kebijakan yang tidak matang.
"Presiden seharusnya menegaskan kembali bahwa tidak ada visi dan misi menteri. Harus ada sistem komunikasi terpusat dan satu komando agar tidak terjadi perbedaan pernyataan dalam satu kabinet," tegas Yoppy.
Sementara itu, Cusdiawan, Direktur Eksekutif Center for Indonesian and Development Policy, menyoroti pola komunikasi pemerintah yang cenderung defensif dan minim keterlibatan pemda.
Ia menilai keputusan Kemendagri yang sentralistik tanpa dialog dengan masyarakat Aceh dan Pemprov setempat memperbesar potensi konflik horizontal.
"Pemerintah gagal membaca sensitivitas sosial dan sejarah. Jika dibiarkan, ini bisa menimbulkan krisis legitimasi yang meluas," ujar Cusdiawan.
Polemik ini diyakini menjadi momentum bagi Presiden Prabowo untuk mengevaluasi sistem komunikasi politik dan pengambilan keputusan strategis pemerintahannya.
Para ahli mengingatkan bahwa tanpa perubahan, masalah serupa bisa berkembang menjadi konflik sosial dan bahkan krisis politik.
"Pengambilan kebijakan harus berbasis proses deliberatif, tidak elitis, dan tidak boleh mengabaikan dimensi sosial maupun ilmiah. Pemerintah harus lebih membuka ruang partisipasi, bukan menutupnya," pungkas Cusdiawan.*