BREAKING NEWS
Sabtu, 02 Agustus 2025

Putusan Hakim terhadap Thomas Lembong Dikritik, Hardjuno Wiwoho: “Hukum Pidana Bukan Alat Adili Ideologi”

Justin Nova - Minggu, 20 Juli 2025 16:13 WIB
133 view
Putusan Hakim terhadap Thomas Lembong Dikritik, Hardjuno Wiwoho: “Hukum Pidana Bukan Alat Adili Ideologi”
Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho (foto: VOI)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA - Putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan.

Salah satunya datang dari Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, yang menilai bahwa putusan tersebut bermasalah secara yuridis dan logika hukum.

Dalam pernyataannya, Hardjuno menilai bahwa meski Thomas dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, namun pertimbangan hakim dinilai mengabaikan unsur fundamental, seperti bukti nyata kerugian negara dan niat jahat (mens rea).

Baca Juga:

"Kalau kita bicara kerugian negara, mestinya hakim sajikan hitungan aktual yang konkret. Ini perkara pidana, bukan forum akademik," tegas Hardjuno, Sabtu (19/7/2025).

Ia menegaskan, dalam hukum pidana modern, dua unsur utama—actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat jahat)—harus terbukti. Tanpa mens rea, maka dasar pemidanaan menjadi lemah.

Baca Juga:

Selain itu, ia juga mengkritisi logika hukum majelis yang menganggap tindakan kebijakan impor gula sebagai pelanggaran, padahal menurutnya itu merupakan diskresi menteri yang sah.

"Diskresi bukan pelanggaran. Kalau ada kesalahan prosedural, ya koreksi secara administratif, bukan dipidana," ujarnya.

Hal lain yang disorot adalah alasan pemberat dalam putusan hakim yang menyebut Thomas tidak menjalankan nilai-nilai demokrasi ekonomi dan Pancasila karena cenderung berpihak pada sistem kapitalis.

"Ini problematik. Pengadilan pidana bukan tempat mengadili keyakinan ideologis atau ekonomi seseorang. Itu domain akademik atau politik, bukan hukum pidana," tambahnya.

Hardjuno juga memperingatkan bahaya preseden hukum jika kebijakan publik bisa dipidana. Menurutnya, hal itu akan membuat pejabat takut mengambil keputusan.

"Kalau ini terus terjadi, kita akan masuk krisis keberanian di birokrasi. Negara bisa lumpuh karena semua takut dipidana," tandasnya.

Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan pentingnya memisahkan pelanggaran administratif dan tindak pidana, demi menjaga marwah hukum dan keberlanjutan demokrasi.*

(kp/j006)

Editor
: Justin Nova
Tags
komentar
beritaTerbaru