JAKARTA— Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu, sebagaimana ditegaskan dalam surah Ali Imran ayat 97.
Selain menjadi bentuk ketaatan kepada Allah SWT, ibadah ini juga menjadi momentum penyucian diri dan peneguhan keimanan.
"...Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana..." (Ali Imran: 97)
Namun, bukan sekadar menunaikan rangkaian ritual, umat Islam juga mendambakan meraih haji mabrur, yakni haji yang diterima oleh Allah SWT dan berdampak positif dalam kehidupan setelah berhaji.
Dalam Kamus Kecil Karakter Islami karya H. Brilly El-Rasheed, disebutkan bahwa menurut Ibnu Khalawaih, haji mabrur berarti maqbul atau diterima oleh Allah.
Sementara itu, ulama besar Imam An-Nawawi menegaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampur dengan dosa dan kemaksiatan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa haji mabrur dilakukan dengan hati yang ikhlas dan bebas dari riya'.
Pandangan ini menekankan pentingnya menjaga niat yang lurus dan keikhlasan selama menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji.
Mengacu pada Buku Manasik Haji 2025 yang diterbitkan Kementerian Agama RI, terdapat enam tanda kemabruran haji yang bersumber dari surah Al-Baqarah ayat 177.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebajikan sejati tidak hanya pada arah kiblat, tetapi pada amal perbuatan yang menunjukkan keimanan dan kepedulian sosial.
Berikut enam amal yang menjadi indikator haji mabrur:
- Beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para nabi.
- Menginfakkan harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan peminta-minta.
- Menegakkan salat secara konsisten.
- Membayar zakat secara rutin dan tepat sasaran.
- Menepati janji dan komitmen yang telah dibuat.
- Bersabar dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, dan cobaan hidup.
Apabila keenam nilai tersebut tercermin dalam kehidupan seseorang setelah berhaji, maka itulah pertanda bahwa hajinya termasuk dalam kategori mabrur.
Haji yang mabrur bukan hanya dinilai dari kesempurnaan pelaksanaan ritual semata, melainkan dari perubahan nyata dalam sikap dan perilaku.
Semakin kuat iman, semakin dermawan, semakin jujur, dan semakin sabar seseorang setelah menunaikan ibadah haji, maka semakin besar pula kemungkinan bahwa hajinya telah diterima.
Sebagaimana disampaikan para ulama fikih, haji mabrur akan menjadikan pelakunya sebagai pribadi yang lebih baik dalam hubungan dengan Allah dan sesama manusia.*