BREAKING NEWS
Senin, 04 Agustus 2025

Ketua Perpadi: Praktik ‘Oplos’ Beras Biasa dalam Industri, Kebijakan HET Jadi Masalah

Suci - Sabtu, 19 Juli 2025 16:28 WIB
121 view
Ketua Perpadi: Praktik ‘Oplos’ Beras Biasa dalam Industri, Kebijakan HET Jadi Masalah
ilustrasi beras (foto: ekonomi bisnis)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

JAKARTA — Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso, meminta pemerintah untuk lebih hati-hati dalam menyikapi maraknya praktik pencampuran beras yang saat ini ramai disebut "beras oplosan". Menurut Sutarto, pencampuran beras bukan serta-merta tindakan curang atau melanggar hukum.

Sutarto menjelaskan bahwa pencampuran atau "oplosan" adalah bagian alami dari industri penggilingan padi. Istilah oplosan sering kali diberi konotasi negatif, padahal tidak semua pencampuran dilakukan untuk merugikan konsumen.

"Oplosan beras itu nampaknya diartikan pasti jelek, ya. Padahal sebenarnya oplosan itu kan 'pencampuran'. Dicampur itu ada yang memang tujuannya baik, ada yang memang mungkin tujuannya jelek," jelas Sutarto, Sabtu (19/7/2025).

Baca Juga:

Menurutnya, sejak lama petani menanam berbagai varietas padi dalam satu wilayah sehingga sulit memisahkan varietas secara ketat saat penggilingan.

Misalnya, di satu kecamatan bisa tumbuh berbagai jenis padi seperti IR64, Inpari 32, dan Legowo secara bersamaan.

Baca Juga:

Sutarto juga menguraikan bahwa dalam proses penggilingan, beras dipisah menjadi kategori seperti beras kepala (beras utuh), broken (beras pecah), dan menir.

Untuk beras premium sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023, beras harus memiliki derajat sosoh di atas 95 persen dan broken maksimal 15 persen. Pencampuran dilakukan agar beras tetap memenuhi standar ini.

Namun, ia mengingatkan bahwa pelanggaran terjadi jika beras yang tidak memenuhi standar tetap diklaim sebagai beras premium, seperti kandungan broken yang melebihi batas.

Sutarto juga menyoroti pelanggaran serius jika beras program pemerintah seperti SPHP dicampur dengan beras komersial. "Kalau terjadi, itu pelanggaran," katanya.

Masalah Utama Ada pada Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras

Sutarto menegaskan persoalan utama bukan praktik pencampuran, tapi ketidaksesuaian antara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. HPP gabah dinaikkan menjadi Rp 6.500 per kilogram, sementara HET beras medium tetap Rp 12.500 per kilogram.

"Kalau harga gabah naik, harga berasnya harusnya juga naik. Tapi pemerintah menetapkan harga beras tetap, itu yang bikin pengusaha penggilingan terjepit," ujarnya.

Kondisi ini membuat sebagian pelaku usaha terpaksa menurunkan mutu beras untuk tetap bisa dijual di bawah HET atau bahkan menghentikan produksi karena rugi.

Sutarto mengusulkan pemerintah meninjau ulang HET agar tidak terjadi ketidakseimbangan yang memicu praktik negatif dan menekan pengusaha penggilingan.

Komitmen Perpadi pada Kualitas dan Pelabelan Beras

Sutarto memastikan Perpadi tegas menindak anggotanya yang memberikan label menyesatkan pada produk beras. "Kami tegur jika ada yang klaim premium tapi tidak, atau menyebut medium padahal bukan," pungkasnya.*

(kp/j006)

Editor
: Justin Nova
Tags
komentar
beritaTerbaru