Muhammad Razali dan Budi Syahputra alias Kecut mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Senin (7/7/2025). (Foto: Raman Krisna/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
DELI SERDANG— Muhammad Razali dan Budi Syahputra alias Kecut resmi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Lubuk Pakam melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Objektif dan Rekan, Aan Madya Nofriandi, S.H. (dikenal dengan nama Aan Jambak), pada Senin (7/7/2025) sore.
Langkah hukum ini ditempuh lantaran kedua kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Pantai Labu atas dugaan tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 363 KUHP.
Permohonan praperadilan tersebut telah teregister dengan Nomor: 9/Pid.Pra/2025/PN Lbp.
"Kami melihat tidak ada lagi ruang musyawarah untuk menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan. Bahkan permintaan penangguhan penahanan pun tidak dikabulkan oleh pihak Polsek Pantai Labu," ujar Aan Jambak kepada wartawan BITVonline.com.
Aan menilai proses penyelidikan dan penyidikan terhadap Muhammad Razali dan Budi Syahputra diduga mengandung unsur kesewenang-wenangan.
Ia menyebut, penetapan status tersangka terhadap keduanya terkesan dipaksakan dan tidak sesuai dengan fakta hukum di lapangan.
Peristiwa yang dimaksud terjadi pada 8 Mei 2025 sekitar pukul 18.00 WIB, yakni saat berlangsungnya pembongkaran pagar seng dan kayu di Desa Kubah Sentang.
Aksi tersebut disaksikan langsung oleh Kepala Desa, Kepala Dusun I, dan Kepala Dusun II.
Menurut Aan, banyak warga yang turut membongkar pagar tersebut, namun hanya dua orang yang dilaporkan, ditangkap, dan ditahan.
Bahkan, lanjutnya, Muhammad Razali disebut tidak berada di lokasi kejadian saat insiden terjadi.
"Kami mempertanyakan dua alat bukti apa yang digunakan untuk menetapkan klien kami sebagai tersangka. Apakah alat bukti tersebut telah cukup kuat sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan penyidikan lainnya?" tambahnya.
Aan menegaskan bahwa langkah hukum ini merupakan bagian dari upaya untuk mendapatkan keadilan dan menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, serta penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak penyidik.
Mengacu pada Pasal 77 sampai 83 KUHAP, praperadilan adalah mekanisme hukum yang sah untuk menguji tindakan penyidik dan penuntut umum, termasuk dalam hal penangkapan dan penetapan tersangka.
Terlebih lagi, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas kewenangan praperadilan, termasuk pengujian keabsahan surat perintah penyidikan, penahanan, hingga penggeledahan dan penyitaan.
Aan menyebut bahwa langkah praperadilan ini juga merupakan wujud implementasi perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Ia berharap Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dapat memeriksa perkara ini secara objektif dan transparan.
"Kami menekankan bahwa setiap tindakan hukum oleh aparat penegak hukum harus dilaksanakan secara profesional, proporsional, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," tegasnya.
Permohonan praperadilan ini menjadi langkah penting bagi Muhammad Razali dan Budi Syahputra dalam mencari keadilan atas status tersangka yang mereka sandang.
Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nantinya akan menentukan sah atau tidaknya tindakan aparat penegak hukum dalam perkara ini.*