JAKARTA – Polemik antara TNI dan pendiri Malaka Project, Ferry Irwandi, kembali mencuat usai TNI menyatakan menemukan indikasi tindak pidana lain yang dinilai lebih serius.
Pernyataan ini disampaikan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan institusi negara tidak bisa menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE.Ferry mengaku kebingungan dengan langkah yang ditempuh TNI. Ia mempertanyakan dasar hukum serta alasan dirinya terus dikejar perkara hukum.
"Terkait kasus saya, kenapa saya diperkarakan segitunya, dicari segitunya, saya nggak tahu sampai sekarang. Yang terakhir ini dapat lagi tindakan pidana yang lebih serius. Saya sampai kagum, mereka ini kenapa? Siapa yang saya sakiti?" ujar Ferry dalam diskusi publik bertajuk "Bahaya Militerisme: Ancaman Pembela HAM dan Militerisasi Ruang Siber" yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil, Jumat (12/9/2025).Ferry juga menyinggung pernyataan Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang sebelumnya sudah menjelaskan posisi hukumnya.
"Saya ini warga sipil biasa. Pak Yusril sudah ngomong, Pak Mahfud juga sudah ngomong. Tapi tetap saja saya dikejar-kejar," imbuhnya.Kapuspen TNI Brigjen Marinir Freddy Ardianzah menyampaikan TNI menghormati penuh putusan MK, namun pihaknya menemukan indikasi dugaan pidana lain yang sifatnya lebih serius.
"TNI memahami dan menghormati penuh putusan MK yang menyatakan bahwa institusi tidak bisa menjadi pelapor dalam delik pencemaran nama baik. Namun, kami menemukan indikasi tindak pidana lain yang sifatnya lebih serius," kata Freddy kepada wartawan.Freddy menegaskan TNI tengah mengkaji dan menyusun konstruksi hukum atas dugaan tersebut.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menyebarkan disinformasi, fitnah, maupun provokasi yang berpotensi memecah belah bangsa.Anggota Komisi I DPR RI, Junico Siahaan, menilai perhatian TNI semestinya tidak diarahkan pada kasus individu.
Menurutnya, masih banyak persoalan lain di ruang digital yang lebih mendesak untuk ditangani aparat."Dalam konteks UU ITE, penegakan hukum harus dilakukan proporsional. Banyak kasus lain yang substansinya lebih berdampak luas. Perhatian seharusnya tidak difokuskan pada kasus perorangan yang tidak mengandung ancaman langsung terhadap kepentingan publik," kata legislator PDIP tersebut.
Junico juga menekankan pentingnya menjaga kebebasan berekspresi sebagai hak konstitusional warga negara. "Ruang digital adalah ruang publik. Tidak bisa serta-merta disterilkan dari suara-suara berbeda pendapat," ujarnya.
Sebelumnya, MK melalui putusan nomor 105/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa lembaga pemerintah, institusi, atau korporasi tidak bisa menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Pelaporan hanya dapat dilakukan oleh individu yang merasa dirugikan secara pribadi.
Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, juga menegaskan hal tersebut. "Dalam kasus pencemaran nama baik, yang berhak melaporkan adalah individu, bukan institusi. Itu sudah jelas dalam putusan MK," kata Yusril.
Meski begitu, Yusril menyebut pihak yang merasa dirugikan tetap bisa menempuh jalur hukum lain di luar tuduhan pencemaran nama baik.*(d/a008)