TEHERAN– Situasi geopolitik global kembali memanas setelah Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan ke Iran, yang memicu respons keras dari Teheran. Salah satu langkah yang tengah dipertimbangkan Iran adalah penutupan Selat Hormuz, jalur strategis yang menjadi nadi bagi hampir 25% perdagangan minyak dunia.
Ketegangan yang meningkat ini membuat pasar energi global waspada. Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, harga minyak mentah global diperkirakan melonjak signifikan.
Meski demikian, Indonesia justru berpotensi diuntungkan dari sisi ekspor, menurut Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda.
"Indonesia diuntungkan juga dengan kenaikan harga minyak global ini karena ekspor komoditas Indonesia akan semakin mahal," ujar Nailul, dikutip dari Antara, Senin (23/6/2025).
Kenaikan harga minyak yang mulai terlihat sejak serangan Israel ke Iran, ditambah dengan ancaman penutupan Selat Hormuz, menciptakan kombinasi yang dapat mengganggu stabilitas energi dunia.
Di satu sisi, negara-negara pengimpor seperti Indonesia akan menghadapi beban impor energi yang lebih mahal, terutama karena Indonesia masih merupakan net importir minyak. Namun di sisi lain, harga tinggi di pasar global akan membuat komoditas ekspor seperti batu bara, kelapa sawit, dan gas alam Indonesia lebih kompetitif dari segi nilai jual.
"Pemerintah harus jeli melihat peluang dan dampak dari perang Iran-Israel," tegas Nailul.
Penutupan Selat Hormuz bukan hanya ancaman regional, tetapi juga berpotensi memicu krisis energi global. Parlemen Iran telah menyetujui langkah tersebut, dan menurut laporan dari Al Arabiya, Dewan Keamanan Nasional Iran kini sedang mempertimbangkan waktu eksekusi.
Komandan IRGC (Korps Garda Revolusi Islam) Iran, Esmail Kosari, menyatakan bahwa penutupan Selat Hormuz sudah masuk agenda resmi dan dapat dilakukan kapan saja bila diperlukan.
Langkah ini menjadi bentuk respons terhadap serangan AS dan bagian dari eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang terus berkembang sejak awal Juni 2025.*