H. M. Yamin, SE, M.Si, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh dan Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh. (foto: T.Jamaluddin/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
ACEH adalah anugerah geografis dan kultural yang luar biasa. Dikenal sebagai Serambi Mekkah, Aceh menyimpan pesona alam yang masih alami: garis pantai yang tenang, pegunungan yang damai, hingga warisan sejarah yang menanti untuk dijelajahi. Tak sedikit wisatawan yang datang dan mengakui bahwa Aceh adalah tempat "healing" terbaik saat ini—bukan hanya karena alamnya, tetapi juga karena keramahan masyarakatnya dan ketenangan sosial yang sulit ditemukan di tempat lain.
Namun, tak jarang pula muncul anggapan bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh menjadi hambatan bagi pariwisata. Ini adalah persepsi yang keliru dan perlu diluruskan. Justru, Syariat Islam adalah bagian dari identitas dan nilai kultural Aceh yang menjadi pembeda di tengah ragam destinasi wisata lainnya di Indonesia.
Syariat Islam: Keunikan yang Berdaya Saing
Aceh bukan daerah yang tertutup bagi wisatawan. Ia justru terbuka, namun dengan tata nilai yang menjaga kesopanan, kebersihan moral, dan kedamaian sosial. Hal-hal ini—ketertiban, kesopanan, dan spiritualitas—adalah nilai yang semakin dicari dalam tren wisata global hari ini. Para wisatawan masa kini, khususnya pasca-pandemi, tidak hanya mencari tempat yang indah untuk difoto, tetapi juga pengalaman yang bermakna dan penuh ketenangan.
Penerapan Syariat Islam di Aceh justru menciptakan suasana sosial yang aman dan nyaman. Tidak ada gangguan malam hari, tidak ada perilaku menyimpang di ruang publik, dan masyarakatnya hidup dalam tatanan yang rapi serta bersahabat. Hal ini adalah nilai tambah, bukan hambatan.
Aceh memang berbeda dari Bali atau Yogyakarta, dan perbedaan inilah yang harus dijadikan kekuatan. Pengalaman yang ditawarkan Aceh adalah pengalaman keislaman yang damai, budaya lokal yang kuat, dan alam yang memanjakan. Dengan sentuhan narasi dan promosi yang tepat, Aceh bisa menjadi ikon wisata berbasis nilai yang tidak sekadar menjual keindahan, tetapi juga kedalaman makna.
Kapasitas Warga Tempatan dan Ekosistem yang Profesional
Namun, potensi besar ini tidak akan berkembang maksimal tanpa peningkatan kapasitas masyarakat lokal. Warga Aceh, khususnya yang berada di sekitar destinasi wisata, perlu terus belajar dan memperluas wawasan tentang hospitaliti—seni melayani dengan ramah, sopan, dan profesional. Pelatihan, pertukaran pengalaman, serta kemitraan dengan pelaku industri pariwisata di daerah lain bisa menjadi jalan untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Keramahan yang dibarengi dengan keterampilan akan menjadikan masyarakat Aceh sebagai tuan rumah yang tidak hanya baik hati, tetapi juga cakap dan percaya diri. Inilah fondasi dari pariwisata berkelanjutan: masyarakat yang siap menerima tamu, tanpa kehilangan jati diri.
Di sisi lain, dukungan pemerintah daerah juga sangat dibutuhkan untuk membangun ekosistem wisata yang menyatu antara nilai dan pelayanan. Fasilitas publik harus terus ditingkatkan, regulasi syariah disampaikan secara edukatif, promosi dilakukan secara strategis, dan semua stakeholder—termasuk tokoh agama dan ormas Islam—dilibatkan dalam narasi besar pembangunan wisata Aceh.
Ekosistem wisata yang aman dan nyaman bukan hanya akan membuat pengunjung betah, tetapi juga membuka jalan agar setiap wisatawan yang datang bisa menjadi duta wisata Aceh di luar sana. Mereka akan membawa cerita, kenangan, dan pengalaman baik tentang Aceh ke mana pun mereka kembali.
Wisatawan: Bagian dari Cerita Aceh
Kita semua menyampaikan harapan kepada para pelancong: mari bersama-sama membangun kepercayaan terhadap Aceh. Jadikan kunjungan Anda sebagai bagian dari penguatan nilai-nilai lokal. Dengan mengapresiasi keberlakuan Syariat Islam—sebagai bentuk ekspresi budaya, spiritualitas, dan sistem sosial masyarakat Aceh—Anda telah ikut serta menjaga warisan sekaligus memperkaya pengalaman pribadi.
Kita tentu saja menginginkan setiap pengunjung tidak hanya menikmati tempat wisata, tetapi juga merasakan ketenangan batin, nilai kehidupan, dan kehangatan masyarakat yang bersandar pada nilai-nilai syari'at. Setiap tamu yang datang ke Aceh akan pulang tidak hanya dengan foto-foto indah, tetapi dengan kesan yang mendalam dan cerita yang menginspirasi untuk kemudian datang kembali beserta keluarga dan handai taulan.*
*) Penulis adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh dan Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh