BREAKING NEWS
Kamis, 06 November 2025

Generasi (C)emas

Redaksi - Senin, 14 Juli 2025 09:10 WIB
Generasi (C)emas
Ilustrasi. (foto: Shutterstock)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Victor Yasadhana

PENDIDIKAN dipercaya sebagai cara paling baik untuk memupuk dan mengembangkan pengetahuan demi kehidupan yang lebih baik. Namun, sebagai sebuah proses, pendidikan sering diukur melalui cara bagaimana membuat mereka yang belajar menjadi pintar secara akademik dan melupakan aspek kesehatan mental.

Jika sebelumnya kurang diperhatikan, dampak perkembangan teknologi yang cepat dan masif serta pandemi covid-19 mendorong isu kesehatan mental lebih serius untuk diperbincangkan dalam ranah pendidikan, terutama saat gelagat kecemasan (anxious), stres (stress), dan depresi (depression) semakin mudah ditemukan dan menjadi bagian dari permasalahan kehidupan di kalangan usia muda/remaja.

MASA KANAK-KANAK YANG BERUBAH

Dalam bukunya, The Anxious Generation (2024), Jonathan Haidts menyajikan fakta yang tidak mengenakkan: bahwa terdapat kenaikan signifikan masalah kesehatan mental di kalangan remaja pada awal 2010-an yang disebabkan perubahan besar pada masa kanak-kanak (great rewiring of childhood).

Jika mengutip data US National Survey on Drug Use and Health, persentase remaja di Amerika Serikat yang pernah mengalami depresi antara 2004 dan 2020 menunjukkan grafik yang meningkat drastis. Itu disertai catatan, periode 2010-2015 merupakan periode the great rewiring, periode terjadinya perubahan besar dan cepat dari masa kanak-kanak yang berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Perubahan itu terutama disebabkan berkurangnya masa kanak-kanak yang berbasis pada waktu bermain (play-based child), dan makin menguatnya masa kanak-kanak yang berbasis penggunaan telepon dan teknologi (phone-based childhood).

Perubahan di atas berpengaruh besar terhadap kehidupan anak dan remaja. Berkurangnya masa kanak-kanak yang berbasis pada waktu bermain dan meningkatnya masa kanak-kanak yang bergantung pada teknologi, misalnya, dianggap mengurangi peluang anak dan remaja untuk terlibat dalam berbagai aktivitas mandiri tanpa pengawasan terus-menerus dari orang dewasa, yang dianggap sebagai cara dan proses baik untuk menumbuhkan resiliensi dan keterampilan dan kemampuan untuk mengatasi masalah secara mandiri.

Sementara itu, penetrasi teknologi melalui penggunaan perangkat elektronik seperti telepon pintar (smartphone) dan media sosial yang memiliki banyak kegunaan dan keuntungan akan berbagai kemudahan yang dihasilkan ternyata juga memiliki akibat yang tidak dibayangkan sebelumnya.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru