BREAKING NEWS
Senin, 08 September 2025

Menggugat Partai Politik

Redaksi - Minggu, 07 September 2025 07:30 WIB
Menggugat Partai Politik
Suasana Rapat Sidang Paripurna DPR RI, di Jakarta, Selasa (26/8/2025). (foto: Dok. Menpan)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Kenaikan tunjangan dan gaji anggota DPR juga tidak akan menjadi isu sensitif yang membakar emosi publik karena peningkatan pendapatan sama-sama dirasakan oleh rakyat kebanyakan. Tetapi fakta justru menunjukkan kebalikannya. Rakyat turun ke jalan, memprotes, bahkan nekat merusak simbol-simbol negara.

Mereka yang percaya penyebab semua peristiwa ini adalah kebijakan negara juga sangat beralasan. Catatan Celios misalnya menggambarkan secara gamblang rangkaian kebijakan yang membentuk akumulasi kekecewaan rakyat.

Baca Juga:

Dimulai dari keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2023 yang mengubah syarat calon presiden dan wakil presiden, hingga kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pemangkasan anggaran pada awal 2025 membuat publik kian merasakan tekanan hidup yang menyesakkan. Krisis harga pangan, pembatasan LPG, serta skandal Pertamina semakin menambah rasa ketidakadilan.

Di saat yang sama, muncul berbagai kebijakan dan rancangan undang-undang yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, seperti revisi KUHP, revisi KUHAP dan UU TNI. Semua itu membentuk semacam "rantai kemarahan" yang tidak hanya berisi fakta ekonomi dan politik, melainkan juga menyinggung aspek psikologis dan moral masyarakat yang merasa dikhianati oleh elite penguasa.

Baca Juga:

Memasuki pertengahan 2025, situasi makin memburuk dengan melonjaknya utang luar negeri, distribusi jabatan komisaris yang memicu kecaman, serta merebaknya protes terkait isu lingkungan seperti #SaveRajaAmpat. Skandal beras premium, kenaikan tarif listrik, hingga tunjangan fantastis DPR menjadi pemantik yang semakin memperuncing rasa frustrasi publik.

Saat kemarahan itu memuncak, tragedi kematian demonstran dan pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap tidak layak menjadi simbol paradoks kekuasaan. Pada akhirnya, akumulasi peristiwa tersebut membentuk narasi besar bahwa negara bukan hanya gagal melindungi rakyatnya, tetapi juga seakan-akan secara sistematis menormalkan praktik yang tidak adil.

Disfungsi Partai Politik

Hampir semua kebijakan negara di atas dibuat dalam kerangka hukum yang sah atau legal. Nyaris tidak ada pelanggaran prosedural. Namun, pembuat kebijakan negara sepertinya lupa bahwa legalitas sama sekali berbeda dengan legitimasi. Legalitas ditentukan oleh aspek hukum formil.

Sementara legitimasi ditentukan dari penerimaan rakyat. Meminjam istilah Jean-Jacques Rousseau, hukum yang tidak lagi mencerminkan volonté Générale (kehendak umum rakyat) adalah hukum yang kehilangan jiwa.

Hari ini, krisis legitimasi itu tidak bisa dibantah. Hukum berjalan, tetapi rakyat menolaknya. Undang-undang disahkan, tetapi dianggap mengkhianati keadilan. Inilah paradoks demokrasi prosedural di Indonesia. Semua kebijakan tampak sah di atas kertas, namun gagal mengikat hati rakyat.

Ada pihak yang sering terlewat untuk dimintai pertanggungjawaban atas seluruh kekacauan ini, yaitu partai politik.

Dalam negara demokrasi, partai politik adalah institusi yang seharusnya menjembatani jurang antara hukum dan rakyat. Pasal 11 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 secara eksplisit menugaskan partai politik untuk menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijkan negara.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Tradisi Banyupinaruh di Denpasar Selatan Berjalan Aman dan Tertib, Sinergi Polri-Pecalang Dapat Apresiasi
Program Minggu Kasih Polda Bali: Perkuat Pesan Kamtibmas dan Edukasi Bijak Bermedia Sosial
Ibu Berjilbab Pink Simbol Gerakan 17+8 Ternyata Berkebutuhan Khusus, Ini Klarifikasi dari Keluarga
PKS Banda Aceh Gelar Musda ke VI dan Pelantikan Pengurus Baru Periode 2025-2030
DPD PKS Aceh Tengah Gelar Coffee Morning Bersama Insan Pers, Tegaskan Fokus Pelayanan Publik dan Profesionalisme Politik
Mengenang Munir Said Thalib: 21 Tahun Kematian Sang Pejuang HAM yang Masih Menyisakan Luka
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru