Aparat kepolisian memukul mundur massa demo 25 Agustus di depan kompleks parlemen, Jakarta, dengan menyemprotkan water cannon, Senin (25/8) siang. (foto: CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
BANGSA ini seakan sedang berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian. Harapan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan kian hari semakin jauh dari kenyataan. Di layar televisi dan media sosial, kita disuguhi drama politik penuh ironi: saat rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok naik, para pejabat justru sibuk memperdebatkan tunjangan, fasilitas, dan privilese pribadi.Kondisi negara kian memburuk bukan hanya karena persoalan ekonomi, tetapi juga akibat krisis moral, krisis empati, dan krisis kepemimpinan. Kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini membuat situasi semakin kacau dan sulit dikendalikan. Di satu sisi, rakyat menuntut perubahan yang nyata. Namun di sisi lain elite politik tampak sibuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Makanya tak heran bila kemarahan publik semakin membesar, dan aksi-aksi demonstrasi muncul di berbagai daerah sebagai ekspresi frustrasi.
Gelombang demo yang mengguncang negeri pada akhir Agustus 2025 bukan sekadar letupan emosi sesaat. Ia adalah alarm keras yang menandakan keresahan rakyat sudah terlalu lama menumpuk: tentang harga kebutuhan pokok yang kian mencekik, kesenjangan sosial yang semakin melebar, dan hukum yang sering terasa tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Di balik teriakan massa, ada pesan yang lebih dalam: rakyat butuh kesejahteraan yang nyata dan keadilan yang tegak.Tuntutan Rakyat 17+8: Simbol Kekecewaan
Demo akhir Agustus 2025 membawa "Tuntutan Rakyat 17+8" yang menjadi simbol perlawanan moral rakyat terhadap ketidakadilan. Di antara tuntutan itu, dua hal mencuat paling keras:1. Segera disahkannya RUU Perampasan Kekayaan Para Koruptor. Rakyat sudah terlalu lama muak dengan koruptor yang bisa bebas bergaya hidup mewah, sementara aset hasil kejahatan mereka sulit disentuh hukum. Undang-undang ini mendesak untuk memastikan bahwa setiap rupiah hasil korupsi kembali kepada rakyat, bukan bersembunyi di surga pajak atau rekening atas nama pihak ketiga.
2. Mengakhiri arogansi gaya hidup pejabat legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Ketika rakyat berjuang membeli beras, para pejabat justru sibuk memamerkan kemewahan: pesta di hotel berbintang, mobil mewah, atau perjalanan dinas berlebihan. Kontras ini melukai rasa keadilan publik. Gaya hidup elitis yang ditampilkan di ruang publik mempertebal jurang kepercayaan antara rakyat dan negara.