RABU, 15 Oktober 2025, kampus Universitas Udayana diguncang tragedi. Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi semester tujuh, ditemukan wafat. Dugaan kuat mengarah pada bullying alias perundungan yang dialaminya dari sesama mahasiswa.
Percakapan grup WhatsApp yang tersebar usai kejadian memperlihatkan wajah dingin empati di lingkungan akademik yang seharusnya menjunjung nilai kemanusiaan.
Peristiwa ini menggambarkan rapuhnya kesadaran sosial di dunia pendidikan tinggi. Ejekan yang dikemas sebagai lelucon telah berubah menjadi senjata psikologis yang mematikan.
Bullying bukan sekadar tindakan fisik, melainkan kekerasan sistemik yang tumbuh subur ketika penghinaan dianggap biasa dan penderitaan dianggap hiburan.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi proses berpikir dan tumbuh justru menunjukkan kegagalannya dalam menumbuhkan rasa aman dan saling menghargai.
Banyak institusi pendidikan masih memandang perundungan sebagai persoalan interpersonal, bukan pelanggaran terhadap martabat manusia. Sikap diam dan pembiaran hanya memperkuat budaya kekerasan yang tak terlihat, menjadikan korban semakin terisolasi dan tak berdaya.
Kasus Timothy menjadi peringatan keras bahwa pendidikan tanpa empati hanyalah ilusi moral. Pencegahan dan penanganan perundungan harus berdiri di atas sistem yang tegas dan manusiawi-bukan sekadar sanksi administratif, tetapi komitmen nyata untuk menciptakan lingkungan akademik yang beradab.
Menolak bullying berarti menegakkan kemanusiaan, dan setiap institusi wajib memulainya dari dirinya sendiri.
Budaya Diam di Kampus dan Tanggung Jawab Institusi Pendidikan Fenomena perundungan di perguruan tinggi tidak lahir dari ruang hampa; melainkan tumbuh dari budaya diam (culture of silence) yang masih mengakar kuat di lingkungan akademik.
Banyak mahasiswa enggan bersuara karena takut dijauhi, dicap pembuat masalah, atau khawatir merusak nama baik institusi. Diam menjadi bentuk "kepatuhan sosial" yang justru menormalisasi kekerasan psikologis.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Laporan Situasi HAM 2023 menegaskan bahwa institusi pendidikan memiliki kewajiban untuk mencegah dan menindak segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perundungan di lingkungan akademik. Kewajiban tersebut bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban hukum.