BREAKING NEWS
Sabtu, 06 Desember 2025

Mengenal PKj-TIM : Selamat Ulang Tahun Ke 57 Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki 10 November 1968-2025

Raman Krisna - Selasa, 11 November 2025 14:32 WIB
Mengenal PKj-TIM : Selamat Ulang Tahun Ke 57 Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki 10 November 1968-2025
Jose Rizal Manua. (Foto: Ist/ BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Dalam kondisi TIM seperti itu, Drs. Soeparmo selaku Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mendapat tugas rangkap diterjunkan ke TIM, tepatnya tanggal 31 Desember 1982 sebagai caretaker General Manager menggantikan Drs. Hazil Tanzil yang sudah hamper 10 tahun memimpin PKJ-TIM. Bagi Soeparmo, memasuki dunia kesenian di TIM bukan merupakan sesuatu yang mudah. Karena sikap seniman terhadap "baju safari" masih apriori, selain itu kondisi fasilitas pertunjukan dan Ruang Pamerran yang ada di TIM mulai rusak berat. Cukup lama Soeparmo tidak memperoleh jalan untuk berinteraksi dengan seniman. Bagi seniman, Soeparmo yang berbaju safari tidak ubahnya dengan pejabat yang lain. Ia akan mengatur kesenian dan seniman, padahal seniman tidak butuh untuk diatur. Soeparmo tidak mungkin mengembalikan tugas tersebut kepada atasannya, yaitu Gubernur.

TIM yang dihuni oleh seniman dalam berbagai disiplin, berbagai aliran, dengan berbagai sifat dan perilaku para senimannya, yang dibayangkan oleh Soeparmo kemudian, sebagai bunga-bunga warna-warni yang tumbuh di sebuah taman, yaitu TIM. TIM tak ubahnya seperti taman yang indah dengan bunga yang beraneka ragam, yang masing-masing bunga memerlukan pelayanan yang berbeda-beda. Ada yang perlu disiram setiap hari, tetapi ada yang cukup seminggu sekali, ada yang perlu pupuk kandang, tetapi ada yang perlu pupuk kimia Dengan sikap seperti itulah, Soeparmo, dengan segala kesabaran mendekati seniman. Hampir setahun, baru ia bisa berdialog dengan Irawati Soediarso, Wahyu Sihombing, Zaini, Ajip Rosidi, HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.

Dari dialog-dialog itu soeparmo dapat menangkap aspirasi dari seniman dalam mengartikan "pembangunan" atau "kemajuan" yang sangat berbeda dengan birokrat. Pembangunan atau kemajuan bagi seniman adalah tumbuhnya suasana kemerdekaan mencipta. Karena gerak kreatif mengalir, kapan mulai dan kapan berhenti, tidak seorang seniman pun mengetahuinya; sepanjang mengalirnya kreatifitas itu tidak dihambat. Sementara, pemerintah senantiasa mencari kepastian matematik dalam semua masalah. Hal-hal yang tidak pasti, dipastikan dan dibakukan, dengan surat keputusan.

Setelah memahami hal itu, Soeparmo pun berusaha keras untuk menterjemahkan bahasa seniman tersebut kepada para birokrat, terutama kepada para penentu kebijakan.

Itulah sebabnya, kemudian Soeparmo dapat menarik kembali Rendra ke TIM, yang sejak tahun 1979 dicekal oleh pemerintah, meskipun diawali dengan menjadi juri pada Festival Teater (Remaja) Jakarta. Selain itu , ia juga meyakinkan instansi Kejaksaan dan Kepolisian yang menahan izin pementasan Teater Koma di GKJ mengenai pementasan Sam Pek Eng tay. Lebih dari 4 bulan izin itu tak kunjung dating dari kedua instansi tersebut. Dalam rangka komunikasi menterjemahkan bahasa seniman, Soeparmo dalam kedudukannya sebagai anggota DKJ berhasil meotivasi para seniman dan budayawan untuk berdialog dan bertemu muka secara leluasa dengan para penguasa, yang diwakili oleh Menteri Ali Murtopo. Pertemuan ini dinamakan "Temu Budaya", diselenggarakan 3 hari dari tanggal 7 sampai 9 Juni 1982, di Pulau Bisdadari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

Kepemimpinan Gubernur Wiyoga AtmodarmintoTahun 1987 – 1992 Untuk mengatasi kesulitan keuangan, Soeparmo mengusulkan kepada gubernur, Wiyogo Atmodarminto yang mengantikan Tjokropranolo, agar Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) yang sudah tercantum dalam anggaran dasar PKJ-TIM, tetapi belum terbentuk, segera dibentuk sehingga bisa mencari uang. Untuk itu, pada tanggal 8 Agustus 1990 dibentuklah Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) yang dipimpin oleh seorang bankir besar Omar Abdallah.

Baca Juga:

Sebagai pemimpin TIM, secara bertahap tetapi pasti, Soeparmo menata manajemen TIM sesuai dengan tata administrasi yang berlaku di Pemerintah DKI Jakarta. Istilah General Manager disesuaikan menjadi Kepala Badan Pengelola. Selain itu Soeparmo juga mengubah struktur personalia, administrasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Taman Ismail Marzuki. Soeparmo mengubah kop surat yang ada di Taman Ismail Marzuki itu. Pada tahun 1983-an keadaan gedung-gedung pertunjukan banyak yang rusak, dan beberapa gedung sudah tidak layak untyuk difungsikan. Soeparmo sebagai Kepala Badan Pengelola PKJ-TIM mempunyai beban yang sangat berat. Keuangan sangat terbatas, sehingga gaji karyawan sering terlambat. Inilah pula yang menyebabkan, gagasan untuk mengangkat 150 karyawan PKJ-TIM menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berinduk pada Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Sebagai konsekkwensinya, IKTIM (Ikatan Karyawan Taman Ismail Marzuki) dibubarkan dan diganti dengan KORPRI (Korp Pegawai Republik Indonesia). Sebagai pasangannya, dibentuklah Dharma Wanita unit PKJ-TIM. Dharma Wanita ini beranggotakan para istri karyawan PKJ-TIM. Soeparmo juga mengaktifkan apel atau upacara setiap tanggal 17 bagi seluruh karyawan PKJ-TIM, seperti dilakukan oleh pegawai negeri lainnya. Bahkan Soeparmo menyelenggarakan juga Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) untuk seluruh karyawan PKJ-TIM dan para seniman muda. Juga, latihan mocopat dan gamelan. Bahkan memberikan penghargaan secara berkala kepada karyawan yang berprestasi.

Soeparmo sebagai pemimpin, selalu menjaga hubungan baik para seniman dari berbagai disiplin. Soeparmo sadar, bahwa seni-seni kreatif yang ditampilkan oleh para seniman belum banyak mempunyai pendukung dan peminat. Seniman perlu kemudahan-kemudahan mengingat keterbatasan keuangan. Karena sulitnya mencari dana untuk membiayai pementasan karya-karya terbaru. Di samping itu, Wisma seni yang tadinya dapat menampung seniman dari berbagai daerah dengan tarif murah sudah tidak ada lagi.

Menjembatani Seniman dan Birokrasi Pada awal berdirinya PKJ-TIM, tahun 1968, seniman menuntut agar kesenian dilepaskan dari birokrasi. Itulah sebabnya Bang Ali menyerahkan pengelolaan PKJ-TIM kepada seniman, yang kemudian menempatkan orang swasta untuk mengelola manajemennya.

Adanya PKJ-TIM telah memacu kreatifitas para seniman dalam berkarya. Yang umumnya mengekspresikan keberpihakan kepada yang lemah dan melalui karya-karyanya mengkritisi ketidak-adilan dalam hidup berbangsa. Sikap kritis seniman ini menimbulkan kekhawatiran pada penguasa, atau pemerintah. Kekhawatiran itulah yang kemudian membatasi kreatifitas seniman. Akibatnya, kontrak atau izin sewaktu-waktu dapat diputuskan tanpa ada hokum yang melindunginya. Artinya, masalah pokok yang dihadapi oleh kehidupan kesenian di Jakarta adalah kurang terbinanya hubungan yang harmonis antara seniman dengan birokrasi dan kekuasaan pemerintah.

Dengan pendekatan yang mengayomi, yang benar-benar tulus dari hati, dalam menghadapi berbagai kendala yang dialami oleh para seniman, kehadiran Soeparmo dapat diterima. Jika seniman mengalami kesulitan, Soeparmo berusaha mencari jalan keluarnya.
Soeparmo adalah birokrat yang bisa diterima dengan sangat terbuka oleh para seniman. Kepemimpinannya sangat demokratis dan bersedia membuka dialog dengan siapa saja. Termasuk ketika Teater Koma, pimpinan N. Riantiarno mengalami kesulitan soal izin polisi, Soeparmo mampu menjembataninya, sehingga persoalan yang pelik itu dapat diselesaikan. Hingga masa pensiunnya, tahun 1990, Drs. Soeparmo masih terus sibuk mengurusi masalah kesenian. Terutama pelestarian kesenian tradisi. Tentang Drs. Soeparmo, beberapa seniman berpendapat:-

Menurut N. Riantiarno, Soeparmo adalah sebagai seorang bapak yang selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya, dan selalu emperjuangkan sesuatu hal jika memang benar.- Idris Sardi, berpendapat, bahwa pandangan Soeparmo dalam dunia kesenian sangat luas. Sosoknya sangat mengagumkan dan pantas menjadi bapaknya seniman. Itu terlihat dari cara bicaranya dan apa yang dikemukakan selalu membawa nilai-nilai kesejukan dan sangat bermanfaat.- Farida Oetoyo, koreografer Ballet, yang sukses mengelola Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) selama 1 lamanya (1987-2001), adalah berkat bimbingan dari Drs. Soeparmo, tentang bagaimana memajukan kesenian dan mensejahterakan seniman. Hubungan yang dibangun Farida Oetoyo-

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Kejari Jakarta Timur Geledah Dua Lokasi, Dugaan Korupsi Mesin Jahit Bikin Heboh
Cuaca Jakarta Hari Ini: Mayoritas Wilayah Hujan Ringan, Waspadai Hujan Sedang di Selatan
Ghozi Zulazmi: Hari Pahlawan Jadi Momen Merefleksikan Perjuangan Bangsa
DPD RI Gelar Green Democracy Fun Walk, Fahira Idris: Inti Demokrasi Adalah Keadilan Sosial
Putra Aceh Jadi Lurah di Jakarta, Istrinya Seorang Polwan: Kisah Yasir Habib Putra Mengabdi untuk Negeri
Update Ledakan SMAN 72 Jakarta: Satu Terduga Pelaku, Polisi Selidiki Dugaan Bullying
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru