BREAKING NEWS
Sabtu, 06 Desember 2025

Mengenal PKj-TIM : Selamat Ulang Tahun Ke 57 Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki 10 November 1968-2025

Raman Krisna - Selasa, 11 November 2025 14:32 WIB
Mengenal PKj-TIM : Selamat Ulang Tahun Ke 57 Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki 10 November 1968-2025
Jose Rizal Manua. (Foto: Ist/ BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh: Jose Rizal Manua

PERTAMA kali saya ke Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), tahun 1972, nonton pementasan Teater Populer yang berjudul PERHIASAN GELAS, karya Tennesse Williams, terjemahan/ sutradara Teguh Karya. Penata Artistik Slamet Rahardjo Djarot. Dan dengan para pemain; N. Riantiarno, Titi Kadarsih, Silvia Widiantono dan George Kamarullah. Berkisah tentang seorang gadis pincang yang menghabiskan hidupnya dengan mainan-mainan kaca. Sebuah pertunjukan yang sangat mengesankan dan tak terlupakan. Pertunjukan ini menumbuhkan kecintaan saya pada dunia teater. Kecintaan terhadap seni teater ini diperkuat setelah saya menonton pementasan MASTODON DAN BURUNG KONDOR, karya/ sutradara W.S. Rendra. Produksi Bengkel Teater Yogya. Bertempat di Gelora Bung Karno, 15 Desember 1973. Disaksikan oleh 7 ribu penonton. Pertunjukan yang spektakuler ini menghipnotis saya, membuat saya "jatuh cinta" pada seni teater.

Seminggu kemudian, setelah menonton pementasan PERHISAN GELAS, Rendra Karno, aktor film tahun '50-an, yang juga pemimpin dan sutradara Teater Wijaya Kusuma, kembali mengajak saya ke PKJ-TIM untuk menjumpai sahabatnya, Djaduk Djajakoesoema, yang tinggal di samping Teater Terbuka, di kompleks PKJ-TIM. Dalam silaturahmi itu, Rendra Karno menitipkan saya pada Djaduk Djajakoesoema, karena saya berminat untuk bekerja di PKJ-TIM. Setelah itu Rendra Karno memperkenalkan saya dengan sahabatnya yang lain, Hardjana HS, Kepala Bagian Teater, PKJ-TIM. Kepada Hardjana HS, Rendra Karno juga menyampaikan hal yang sama. Akhirnya, Hardjana HS mengiakan, dan meminta saya untuk datang membantu pekerjaan artistik (menata set dekor, lampu, dan pekerjaan panggung lainnya) mulai keesokan harinya. Sejak itulah hingga sekarang saya berada di PKJ-TIM.

Baca Juga:

Tawaran Bekerja Di awal Januari 1973, Hardjana HS menawari saya menjadi karyawan PKJ-TIM, setelah beberapa bulan sebelumnya, melihat saya begitu bersemangat dalam menangani segala pekerjaan artistik. Dengan hati girang, saya persiapkan segala persyaratan atministratif. Dan sejak tahun 1973 itulah saya menjadi karyawan PKJ-TIM. Dan ketika di tahun 1975, pengelolaannya diambil alih oleh PEMDA DKI Jakarta, di mana seluruh karyawan diwajibkan untuk menjadi pegawai negeri, saya pun harus mematuhinya. Sejak tahun 1975 saya menjadi pegawai negeri PEMDA DKI Jakarta yang ditugaskan di Bagian Teater Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), hingga pensiun di tahun 2010.

Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki, yang diresmikan pada tanggal 10 November 1968 ini, di bangun atas gagasan beberapa seniman Jakarta, yang rancangan arsitekturnya dikerjakan oleh seniman (perupa, teater, film, tari, musik, dan sastra), dan diwujudkan oleh Insinyur Tjong, yang mewakili PEMDA DKI Jakarta, menjadi; Teater Tertutup, Teater Terbuka, Teater Arena, Teater Halaman, Teater besar, Sanggar Baru, Mesjid Amir Hamzah, Sanggar Tari Huriah Adam, Wisma Seni, dan perumahan anggota DKJ dan dosen IKJ, yang letaknya di sebelah Teater Terbuka, belakangan dibangun lagi satu gedung teater, diberi nama Graha Bhakti Budaya. Semua gedung-gedung tersebut sangat representatif untuk menampung segala jenis dan bentuk pertunjukan, baik yang klasik, yang tradisi, yang kerakyatan, maupun yang modern/ kontemporer.
Di teater Tertutup yang kapasitasnya 360 penonton, bisa diselenggarakan pementasan teater, tari, musik, sastra, bahkan untuk pemutaran film. Di Teater Terbuka yang kapasitas penontonnya 2.500 penonton juga bisa disenggarakan berbagai jenis dan bentuk pertunjukan.

Gedung-gedung yang saya sebutkan di atas, sekarang sudah dibongkar dan diganti dengan 2 Gedung, yaitu Teater besar (Teater Jakarta) dan Teater Kecil, dengan plaza yang luas. Gedung yang masih dipertahankan hingga hari ini adalah Graha Bhakti Budaya.Dinamika Pengelolaan

Di awal peresmiannya tahun 10 November 1968 oleh Gubernur Ali Sadikin, selama sepekan, berlangsung pesta seni nusantara yang sangat meriah, tidak hanya di area PKJ-TIM, akan tetapi meluber sampai di sepanjang jalan Cikini Raya. Sejak itu acara-acara kesenian yang bertaraf nasional dan internasional terus bergulir tanpa henti dengan karya-karya yang terjaga mutu seninya. Gubernur Ali Sadikin menyerahkan segalanya kepada seniman. Yang diwakili oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta, yang sangat aktif , bersemangat dan penuh wibawa. Sedangkan manajemennya di kelola oleh swasta, dengan Suri Handono, sebagai General Manager.

Di tahun 1972, Suri Handono digantikan oleh Drs. Hazil Tanzil, yang menjabat sebagai General Manager PKJ-TIM hingga tahun 1982.

Di dalam Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), terdapat 5 lembaga, yaitu: Akademi Jakarta (AJ), wadahnya budayawan; Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), wadahnya seniman; Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang kemudian berubah menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Pengelola Taman Ismail Marzuki (BP-TIM) yang bertugas mengurus seluruh kompleks dan yang terrakhir Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) yang baru direalisir pembentukannya pada tahun 1990. Lembaga ini bertugas mendukung dana untuk semua kegiatan dari lembaga-lembaga tersebut di atas dalam rangka meringankan beban Pemerintah DKI Jakarta.

Pada masa-masa kejayaan PKJ-TIM ini, masyarakat dapat menyaksikan ragam dan jenis pementasan yang bermutu. Baik yang tradisional maupun yang modern. Baik yang klasik maupun rang kontemporer. Bahkan seni-seni yang kerakyatan; seperti Dangdut, lenong, samrah, ongkek, mamanda, mendu, dll. Juga turut menyemarakkan PKJ-TIM ini. Di tahun-tahun tersebut muncul seniman-seniman hebat Indonesia, di antaranya; Rendra dengan Bengkel Teater Yogya, Arifin C. Noer dengan Teater Kecil, Teguh Karya dengan Teater Populer, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, Jim Adilimas dan Suratna Anirun dari Studi Teater bandung, Rahman Arge dengan Teater Makasar, Burhan Piliang dengan Teater nasional (TENA), Sardono W. Kusumo, Farida Sjuman, Huriah Adam, Yulianti Parani, Bagong Kussudiardja yang mengkombinasikan tari Jawa Klasik dengan Ballet, band Godbless, Guruh Gibsy, Affandi, Sudjoyono, Basuki Abdullah, Rusli, Seni-seni dari Kraton Yogyakarta, Surakarta, dan banyak lagi. Sedangkan seni manca negara yang pernah pentas di PKJ-TIM, antara lain; Ballet Martha Graham, Alvin Nikolai, Marcel Marceau (Pantomim), Teater Willams Shakespeare, dan banyak lagi.

Di tahun 1975, Gubernur Ali Sadikin membuat kebijakan, dengan mengangkat sebagian karyawan PKJ-TIM yang jumlahnya keseluruhannya mencapai 250 orang, menjadi PNS. Dengan maksud, agar gaji karyawan tidak membebani subsidi untuk AJ, DKJ, dan PKJ-TIM yang jumlahnya tidak mencukupi.Pergantian dari Bang Ali ke Bang Nolly

Baca Juga:

Setelah mengakhiri jabatannya di tahun 1977, Ali Sadikin digantikan oleh Tjokropranolo, yang menjabat hingga tahun 1982. Di era Gubernur Tjokropranolo, Jakarta mengalami perkembangan yang pesat dan ini berimbas pada PKJ-TIM, sarana rekreasi tumbuh di beberapa tempat, di antaranya; Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Impian Jaya Ancol, munculnya beberapa stasiun Televisi, dan bangkitnya perfilman Indonesia. Membuat pengunjung mulai berkurang, dan sebagian seniman yang sebelumnya secara berkala menggelar karyanya di PKJ-TIM, mulai beralih ke Film dan Televisi. Sementara itu, subsidi Pemda DKI yang jumlahnya Rp. 77 juta per tahun, tidak mengalami kenaikan yang signifikan. TIM yang semula seperti kapal pesiar yang mewah dan terlanjur berlayar ke tengah laut lepas, karena TIM sudah di kenal dunia internasional, tiba-tiba mulai ditinggal penumpang setianya, dan kapal sudah mulai rusak. Bocor di mana-mana dikala turun hujan, dan untuk kembali ke dermaga saja, mesin dan bensinnya sudah tidak sanggup. Anak buah kapal berjumlah 250 orang, semuanya harus digaji.

Dalam kondisi TIM seperti itu, Drs. Soeparmo selaku Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta mendapat tugas rangkap diterjunkan ke TIM, tepatnya tanggal 31 Desember 1982 sebagai caretaker General Manager menggantikan Drs. Hazil Tanzil yang sudah hamper 10 tahun memimpin PKJ-TIM. Bagi Soeparmo, memasuki dunia kesenian di TIM bukan merupakan sesuatu yang mudah. Karena sikap seniman terhadap "baju safari" masih apriori, selain itu kondisi fasilitas pertunjukan dan Ruang Pamerran yang ada di TIM mulai rusak berat. Cukup lama Soeparmo tidak memperoleh jalan untuk berinteraksi dengan seniman. Bagi seniman, Soeparmo yang berbaju safari tidak ubahnya dengan pejabat yang lain. Ia akan mengatur kesenian dan seniman, padahal seniman tidak butuh untuk diatur. Soeparmo tidak mungkin mengembalikan tugas tersebut kepada atasannya, yaitu Gubernur.

TIM yang dihuni oleh seniman dalam berbagai disiplin, berbagai aliran, dengan berbagai sifat dan perilaku para senimannya, yang dibayangkan oleh Soeparmo kemudian, sebagai bunga-bunga warna-warni yang tumbuh di sebuah taman, yaitu TIM. TIM tak ubahnya seperti taman yang indah dengan bunga yang beraneka ragam, yang masing-masing bunga memerlukan pelayanan yang berbeda-beda. Ada yang perlu disiram setiap hari, tetapi ada yang cukup seminggu sekali, ada yang perlu pupuk kandang, tetapi ada yang perlu pupuk kimia Dengan sikap seperti itulah, Soeparmo, dengan segala kesabaran mendekati seniman. Hampir setahun, baru ia bisa berdialog dengan Irawati Soediarso, Wahyu Sihombing, Zaini, Ajip Rosidi, HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.

Dari dialog-dialog itu soeparmo dapat menangkap aspirasi dari seniman dalam mengartikan "pembangunan" atau "kemajuan" yang sangat berbeda dengan birokrat. Pembangunan atau kemajuan bagi seniman adalah tumbuhnya suasana kemerdekaan mencipta. Karena gerak kreatif mengalir, kapan mulai dan kapan berhenti, tidak seorang seniman pun mengetahuinya; sepanjang mengalirnya kreatifitas itu tidak dihambat. Sementara, pemerintah senantiasa mencari kepastian matematik dalam semua masalah. Hal-hal yang tidak pasti, dipastikan dan dibakukan, dengan surat keputusan.

Setelah memahami hal itu, Soeparmo pun berusaha keras untuk menterjemahkan bahasa seniman tersebut kepada para birokrat, terutama kepada para penentu kebijakan.

Itulah sebabnya, kemudian Soeparmo dapat menarik kembali Rendra ke TIM, yang sejak tahun 1979 dicekal oleh pemerintah, meskipun diawali dengan menjadi juri pada Festival Teater (Remaja) Jakarta. Selain itu , ia juga meyakinkan instansi Kejaksaan dan Kepolisian yang menahan izin pementasan Teater Koma di GKJ mengenai pementasan Sam Pek Eng tay. Lebih dari 4 bulan izin itu tak kunjung dating dari kedua instansi tersebut. Dalam rangka komunikasi menterjemahkan bahasa seniman, Soeparmo dalam kedudukannya sebagai anggota DKJ berhasil meotivasi para seniman dan budayawan untuk berdialog dan bertemu muka secara leluasa dengan para penguasa, yang diwakili oleh Menteri Ali Murtopo. Pertemuan ini dinamakan "Temu Budaya", diselenggarakan 3 hari dari tanggal 7 sampai 9 Juni 1982, di Pulau Bisdadari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

Kepemimpinan Gubernur Wiyoga AtmodarmintoTahun 1987 – 1992 Untuk mengatasi kesulitan keuangan, Soeparmo mengusulkan kepada gubernur, Wiyogo Atmodarminto yang mengantikan Tjokropranolo, agar Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) yang sudah tercantum dalam anggaran dasar PKJ-TIM, tetapi belum terbentuk, segera dibentuk sehingga bisa mencari uang. Untuk itu, pada tanggal 8 Agustus 1990 dibentuklah Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) yang dipimpin oleh seorang bankir besar Omar Abdallah.

Baca Juga:

Sebagai pemimpin TIM, secara bertahap tetapi pasti, Soeparmo menata manajemen TIM sesuai dengan tata administrasi yang berlaku di Pemerintah DKI Jakarta. Istilah General Manager disesuaikan menjadi Kepala Badan Pengelola. Selain itu Soeparmo juga mengubah struktur personalia, administrasi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Taman Ismail Marzuki. Soeparmo mengubah kop surat yang ada di Taman Ismail Marzuki itu. Pada tahun 1983-an keadaan gedung-gedung pertunjukan banyak yang rusak, dan beberapa gedung sudah tidak layak untyuk difungsikan. Soeparmo sebagai Kepala Badan Pengelola PKJ-TIM mempunyai beban yang sangat berat. Keuangan sangat terbatas, sehingga gaji karyawan sering terlambat. Inilah pula yang menyebabkan, gagasan untuk mengangkat 150 karyawan PKJ-TIM menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berinduk pada Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Sebagai konsekkwensinya, IKTIM (Ikatan Karyawan Taman Ismail Marzuki) dibubarkan dan diganti dengan KORPRI (Korp Pegawai Republik Indonesia). Sebagai pasangannya, dibentuklah Dharma Wanita unit PKJ-TIM. Dharma Wanita ini beranggotakan para istri karyawan PKJ-TIM. Soeparmo juga mengaktifkan apel atau upacara setiap tanggal 17 bagi seluruh karyawan PKJ-TIM, seperti dilakukan oleh pegawai negeri lainnya. Bahkan Soeparmo menyelenggarakan juga Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) untuk seluruh karyawan PKJ-TIM dan para seniman muda. Juga, latihan mocopat dan gamelan. Bahkan memberikan penghargaan secara berkala kepada karyawan yang berprestasi.

Soeparmo sebagai pemimpin, selalu menjaga hubungan baik para seniman dari berbagai disiplin. Soeparmo sadar, bahwa seni-seni kreatif yang ditampilkan oleh para seniman belum banyak mempunyai pendukung dan peminat. Seniman perlu kemudahan-kemudahan mengingat keterbatasan keuangan. Karena sulitnya mencari dana untuk membiayai pementasan karya-karya terbaru. Di samping itu, Wisma seni yang tadinya dapat menampung seniman dari berbagai daerah dengan tarif murah sudah tidak ada lagi.

Menjembatani Seniman dan Birokrasi Pada awal berdirinya PKJ-TIM, tahun 1968, seniman menuntut agar kesenian dilepaskan dari birokrasi. Itulah sebabnya Bang Ali menyerahkan pengelolaan PKJ-TIM kepada seniman, yang kemudian menempatkan orang swasta untuk mengelola manajemennya.

Adanya PKJ-TIM telah memacu kreatifitas para seniman dalam berkarya. Yang umumnya mengekspresikan keberpihakan kepada yang lemah dan melalui karya-karyanya mengkritisi ketidak-adilan dalam hidup berbangsa. Sikap kritis seniman ini menimbulkan kekhawatiran pada penguasa, atau pemerintah. Kekhawatiran itulah yang kemudian membatasi kreatifitas seniman. Akibatnya, kontrak atau izin sewaktu-waktu dapat diputuskan tanpa ada hokum yang melindunginya. Artinya, masalah pokok yang dihadapi oleh kehidupan kesenian di Jakarta adalah kurang terbinanya hubungan yang harmonis antara seniman dengan birokrasi dan kekuasaan pemerintah.

Dengan pendekatan yang mengayomi, yang benar-benar tulus dari hati, dalam menghadapi berbagai kendala yang dialami oleh para seniman, kehadiran Soeparmo dapat diterima. Jika seniman mengalami kesulitan, Soeparmo berusaha mencari jalan keluarnya.
Soeparmo adalah birokrat yang bisa diterima dengan sangat terbuka oleh para seniman. Kepemimpinannya sangat demokratis dan bersedia membuka dialog dengan siapa saja. Termasuk ketika Teater Koma, pimpinan N. Riantiarno mengalami kesulitan soal izin polisi, Soeparmo mampu menjembataninya, sehingga persoalan yang pelik itu dapat diselesaikan. Hingga masa pensiunnya, tahun 1990, Drs. Soeparmo masih terus sibuk mengurusi masalah kesenian. Terutama pelestarian kesenian tradisi. Tentang Drs. Soeparmo, beberapa seniman berpendapat:-

Menurut N. Riantiarno, Soeparmo adalah sebagai seorang bapak yang selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya, dan selalu emperjuangkan sesuatu hal jika memang benar.- Idris Sardi, berpendapat, bahwa pandangan Soeparmo dalam dunia kesenian sangat luas. Sosoknya sangat mengagumkan dan pantas menjadi bapaknya seniman. Itu terlihat dari cara bicaranya dan apa yang dikemukakan selalu membawa nilai-nilai kesejukan dan sangat bermanfaat.- Farida Oetoyo, koreografer Ballet, yang sukses mengelola Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) selama 1 lamanya (1987-2001), adalah berkat bimbingan dari Drs. Soeparmo, tentang bagaimana memajukan kesenian dan mensejahterakan seniman. Hubungan yang dibangun Farida Oetoyo-

Drs. Soeparmo dengan Farida Oetoyo bukanlah hubungan atasan bawahan, tetapi dengan azas kesetaraan, sehingga tidak kaku dan pekerjaan menjadi lancar.- Bagi Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, sosok Soeparmo sangat menyenangkan. Pribadinya ramah dan sangat terbuka: "Apalagi dalam sikap dan perilakunya, Pak Parmo "sangat Jawa", kalem, dan senantiasa mau mendengar berbagai persoalan kesenian yang dihadapi para seniman, dan kemudian secara bersungguh-sungguh diupayakan jalan penyelesaiannya", ujar Sutardji.-

Baca Juga:

Rendra mengatakan: "Mencari orang seperti mas Parmo sukar sekali, apalagi disaat ini banyak orang mementingkan dirinya sendiri. Hidupnya adalah kebatinan. Kesadaran batin yang utama, yang berkembang adalah kalbu dan nurani. Ia memiliki kesadaran pencerahan dari kalbu dan pengembangan dari nurani".- Peristiwa yang bagi saya cukup monumental adalah, acara Baca Puisi Pejabat di Lapangan Monas, pada 16 Agustus 1990. Dalam rangka memperingat HUT Kemerdekaan R.I ke- 45, para pejabat antara lain; Moerdiono, Hendropriyono, Ruslan Abdul Gani, bersama Penyair Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, KH. A. Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Guruh Soekarno Putra, para pengusaha seperti Ciputra, dan para tokoh masyarakat lainnya, membacakan puisi-puisi kemerdekaan dalam satu panggung, hingga larut malam. Dan diliput secara luar oleh media masa di halaman pertama.

Yayasan Kesenian jakarta Pengabdian Soeparmo yang selanjutnya adalah mengusulkan dibentuknya Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ), yayasan itu sengaja diusulkan oleh Soeparmo untuk menangani PKJ-TIM dan IKJ. Selain itu, yayasan itu didirikan untuk mengurangi campur tangan pemerintah di dalam PKJ-TIM. Yayasan itu pertama kali diketuai oleh H. Omar Abdalla dan diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1089. Sejak itu pengelaolaan PKJ-TIM dan IKJ diserahkan kepada YKJ. Selanjutnya melalui surat keputusan YKJ Nomor 1, tahun 1990, tanggal 29 Januari 1990, Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ) menunjuk Drs. Bur Rasuanto (sastrawan dan mantan wartawan perang Vietnam) menjadi Direktur Pusat Kesenian Jakarta- Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) untuk menggantikan Drs. Soeparmo yang telah habis masa jabatannya.

Nama Ketua Badan Pengelola PKJ-TIM, diganti menjadi Direktur PKJ-TIM. Selama kepemimpinan Bur Rasuanto sebagai Direktur, PKJ-TIM, berkembang cukup siknifikan. Selama 1 ½ tahun kepemimpinannya, gaji karyawan PKJ-TIM dinaikkan sebanyak 3X, dan honor untuk semua seniman/ pengisi acara di PKJ-TIM ditingkatkan. Perkembangan kearah yang lebih baik, sungguh kentara, dan dinamika berkesenian cukup menggairahkan. Bur Rasuanto, cukup baik dalam membina hubungan dengan para seniman. Secara berkala ia sering bersilaturahmi, semisal, ke Bengkel Teater Rendra di Cipayung, Depok. Pemimpin yang sederhana ini, selalu ngantor jam 07.00 pagi. Menyapa siapa saja yang dijumpai. Bahkan sering berdiskusi dengan pekerja kebersihan, yang selalu datang lebih pagi. Bur Rasuanto adalah salah satu pemimpin terbaik yang pernah saya jumpai di PKJ-TIM. Selama kepemimpinannya, Bur Rasuanto dibantu oleh 2 sastrawan, Ramadhan K.H dan Hamid jabbar. Di awal kepemimpinannya, TIM sedang dililit utang dan kas yang kosong, tapi dalam tempo 3 bulan menjadi Direktur, TIM mengalami surplus 70 juta rupiah. Selama kepemimpinannya yang berlangsung hanya satu setengah tahun, Bur Rasuanto telah berhasil meningkatkan honorarium seniman (pengisi acara) di TIM, dan menaikkan gaji pegawai sebanyak 3x. Selama kepemimpinannya memang terjadi hubungan yang kurang harmonis antara PKJ-TIM dengan DKJ, yang hubungannya dengan acara/ program penyelenggaraan kesenian di TIM.

Kemudian Bur Rasuanto digantikan oleh Pramana Padmodarmaya. Setelah berakhirnya kepemimpinan Pramana Padmodarmaya, pengelolaan TIM kembali dipegang oleh PEMDA DKI Jakarta, hingga sekarang.

Tentang Graha Bhakti Budaya

Pelukis Hardi, dalam artikelnya yang berjudul TIM: Maju Kena Mundur Kena, di surat kabar Sinar Harapan, Rabu, 27 Juli 1083, mengatakan: "Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 30 Maret 1980, saya membikin suatu gerakan unjuk rasa, bersama Slamet Ryadi, pelukis, Dede Erri Supria, pelukis, Raymon, anak teater serta Yose Rizal (maksudnya Jose Rizal Manua), karyawan TIM dan kalau tak silap Baron Achmadi, orang film bersama grup musiknya. Sementara itu Sukendro dari Sinematografi siap dengan kamera 16 milimiter untuk mendokumentasikan peristiwa ini. Ya, kami protes ketika gedung Graha Bhakti Budaya akan dibangun. Karena ditempat akan dibangunnya Graha Bhakti Budaya adalah merupakan "hutan kecil", dimana terdapat pohon-pohon besar yang rimbun. Saya diminta oleh Hardi untuk memasang poster di salah satu pohon besar yang mengarah ke jalan, yang bertuliskan "Aku ini pohon yang jalan/ dari lingkungan yang terbuang/ apabila beton dan semen datang/ maka aku ditebang".

Aku ikut protes, karena di TIM sudah ada 5 gedung teater (Teater Arena, Teater Tertutup, Teater terbuka, Teater Besar, dan Teater Halaman). Kenapa harus dibangun lagi gedung teater, yang kemudian bernama Graha Bhakti Budaya, yang kemudian menghilangkan "hutan kecil" itu. Ketika Graha Bhakti Budaya diresmikan tahun 1983, gedung teater itu bocor di beberapa titik. Antara lain di bagian sisi kanan panggung, kama rias dan teras). Saya dengan I Gusti Kompyang Raka (pemimpin Sanggar Tari Saraswati), dengan stage crew yang lain terpaksa menampung air dengan beberapa ember.

Baca Juga:

Sejak diresmikan hingga dibongkar, tahun 2020 ini, Graha Bhakti Budaya, sudah mengalami beberapa kali renovasi, tapi kebocoran itu tidak pernah bisa diatasi, bahkan semakin parah. Dan balkon Graha Bhakti Budaya mengalami kerusakan yang cukup parah, tidak cukup kuat menopang beban, dan terpaksa harus diganjal. Dalam kondisi serupa itu, gedung Graha Bhakti Budaya tidak lagi bisa renovasi. Jadi memang harus direvitalisasi. Harus dibangun ulang, demi keamanan dan keselamatan. Saya berkantor di Graha Bhakti Budaya sejak diresmikannya, tahun 1983 hingga pensiun tahun 2010. Di Graha Bhakti Budaya, saya bertugas sebagai penata panggung, penata lampu, stage manager, hingga Kepala Bagian. Jadi saya tahu betul kondisi Graha Bhakti Budaya secara detail.

Semoga tulisan ini menjadi pelengkap dari banyak tulisan tentang Taman Ismail Marzuki yang sama kita cintai. (Jose Rizal Manua, adalah karyawan PKJ-TIM, bagian Teater, tahun 1973-2010).*

*)budayawan, sastrawan, pemeran, dan pelatih akting Indonesia

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Kejari Jakarta Timur Geledah Dua Lokasi, Dugaan Korupsi Mesin Jahit Bikin Heboh
Cuaca Jakarta Hari Ini: Mayoritas Wilayah Hujan Ringan, Waspadai Hujan Sedang di Selatan
Ghozi Zulazmi: Hari Pahlawan Jadi Momen Merefleksikan Perjuangan Bangsa
DPD RI Gelar Green Democracy Fun Walk, Fahira Idris: Inti Demokrasi Adalah Keadilan Sosial
Putra Aceh Jadi Lurah di Jakarta, Istrinya Seorang Polwan: Kisah Yasir Habib Putra Mengabdi untuk Negeri
Update Ledakan SMAN 72 Jakarta: Satu Terduga Pelaku, Polisi Selidiki Dugaan Bullying
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru