SUMATERA –Ketua Forum Harimau Kita (FHK), Iding A. Haidir, menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun antara 2001 hingga 2016, tercatat sebanyak 1.061 insiden konflik antara manusia dan harimau di Pulau Sumatera. Angka tersebut berarti terjadi rata-rata 71 insiden per tahun. Konflik tersebut terjadi di beberapa provinsi, dengan Sumatra Barat menjadi yang paling sering mengalami insiden, yakni sebanyak 48 kasus, yang berarti ada sekitar 3 insiden per tahun. Provinsi lain yang mengalami jumlah insiden signifikan adalah Riau (38 insiden), Aceh (34), dan Jambi (14).
“Jika dirata-ratakan, 71 insiden per tahun. Sumatra Barat menjadi provinsi paling sering mengalami konflik, sebanyak 48 insiden (3 insiden per tahun), diikuti Riau (38), Aceh (34), dan Jambi (14),” kata Iding dalam keterangan tertulisnya yang diterima Minggu (19/1/2025).
Konflik manusia-harimau ini menyebabkan kerugian besar bagi kedua belah pihak. Setidaknya 130 ekor harimau menjadi korban, baik terbunuh maupun direlokasi dari habitatnya yang semakin terbatas. Di sisi lain, 184 orang tercatat diserang oleh harimau dan mengalami berbagai macam kerugian, mulai dari luka hingga kehilangan nyawa.
Selain itu, hewan ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing, yang banyak dipelihara tanpa kandang yang layak, juga menjadi target serangan harimau. Selama 15 tahun tersebut, rata-rata 25 ekor ternak menjadi korban setiap tahunnya.
Menanggapi hal ini, Iding menegaskan bahwa inti permasalahannya bukanlah siapa yang lebih penting, manusia atau harimau, melainkan bagaimana cara mengurangi dampak negatif dan mencegah kerugian bagi semua pihak. Menurutnya, kunci untuk menyelesaikan masalah ini adalah melalui edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya keberadaan harimau sebagai satwa liar yang dilindungi dan langkah-langkah mitigasi yang tepat.
“Konflik antara manusia dan satwa liar merupakan gambaran interaksi yang rumit. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan bentang alam yang melibatkan tiga sektor, yaitu masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha, menjadi sangat penting,” ujar Iding.
Pendekatan kolaboratif antara ketiga sektor ini dianggap sebagai solusi terbaik dalam mengelola sumber daya alam dan menangani masalah yang semakin kompleks ini. Iding juga menekankan bahwa penyelesaian masalah harus melibatkan keterlibatan masyarakat sekitar, yang secara langsung berinteraksi dengan harimau dan satwa liar lainnya.
(N/014)
Forum Harimau Kita Catat 1.061 Insiden Konflik Manusia-Harimau di Sumatera, Edukasi Dinilai Kunci Penyelesaian