JAWA BARAT - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu terobosan besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini berada di ujung tanduk.
Alih-alih memperbaiki kualitas gizi anak bangsa, program ini justru memicu keresahan publik lantaran sebanyak 5.626 kasus keracunan telah terjadi di puluhan kota/kabupaten pada 16 provinsi sejak diluncurkan.Data terbaru menunjukkan, angka tersebut melonjak hampir empat kali lipat dibandingkan akhir Juni lalu yang baru tercatat 1.376 kasus. Bahkan dalam sepekan terakhir, dua kejadian besar kembali menyita perhatian publik: lebih dari 300 siswa keracunan di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (17/9), dan 569 siswa di Garut, Jawa Barat (18/9).
Lonjakan kasus ini membuat LSM, akademisi, dan orang tua siswa mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas. Dua opsi besar pun mengemuka: moratorium (penghentian sementara) MBG untuk evaluasi menyeluruh, atau mengalihkan anggaran MBG ke sektor pendidikan.❗ Fenomena Gunung Es
Founder dan CEO Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menyebut ribuan kasus keracunan hanyalah "fenomena puncak gunung es.""Klaim pemerintah bisa memperbaiki MBG sembari berjalan terbukti gagal. Kasus keracunan terus berulang. Jika pemerintah bersikeras, kesehatan jutaan anak bisa terancam," tegas Diah.
Menurutnya, program MBG sejak awal dilaksanakan secara terburu-buru demi mengejar target 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025, tanpa persiapan matang dari segi regulasi, keamanan pangan, hingga tata kelola distribusi.Lebih jauh, CISDI menilai program ini juga melanggar hak anak, karena menu MBG kerap dipenuhi pangan ultra-proses dan minuman bergula tinggi.
??? Orang Tua Mulai TraumaKeresahan kini juga datang dari para orang tua. Lina (42), warga Makassar, mengaku melarang ketiga anaknya mengonsumsi MBG usai mendengar kasus keracunan beruntun.
"Menu burger disebut bergizi, tapi kenyataannya lebih mirip junk food. Bahkan lauknya sering hanya telur atau tempe. Kalau begini, lebih baik dana MBG dipakai untuk pendidikan gratis," ujar Lina.Senada, Azizah (35), warga Gowa, menilai makanan MBG justru banyak terbuang karena tidak sesuai selera anak.
"Lebih baik anggarannya dialihkan ke perbaikan sekolah, bangunan, dan fasilitas pendidikan," katanya.Sementara itu, Pras (40), orang tua siswa di Batang, Jawa Tengah, menyoroti masalah distribusi. Menurutnya, makanan sering basi karena jarak dapur MBG dengan sekolah terlalu jauh.
"Sebaiknya dapur dikelola langsung oleh sekolah. Kalau tidak, lebih baik anggarannya dipakai untuk dana pendidikan yang lebih jelas manfaatnya," ungkapnya.
? Surat Kontroversial dan Dugaan TekananKekhawatiran publik semakin bertambah setelah beredar surat pernyataan MBG di sejumlah sekolah yang mewajibkan orang tua bertanggung jawab atas risiko keracunan dan mengganti tray makan yang hilang seharga Rp80 ribu. Bahkan, dalam surat tersebut, orang tua diminta tidak menyebarkan informasi keluar bila terjadi keracunan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan bahwa surat tersebut bukan berasal dari pihaknya."Kami tidak pernah meminta siapapun menyembunyikan kejadian keracunan. Justru kami mendorong keterbukaan," katanya.
⚠️ BGN Bentuk Satgas KLB
Menanggapi gelombang kritik, BGN membentuk Satgas Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk menangani kasus keracunan MBG. Dadan mengakui sejumlah dapur MBG bermasalah telah dihentikan sementara operasinya.Namun ia juga menegaskan bahwa kasus keracunan sering dipicu faktor teknis, seperti pergantian supplier ikan di Banggai dan nasi basi akibat keterlambatan distribusi di Garut.
"Setiap SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) memiliki tantangan berbeda. Kami akan memperketat rantai pasok, distribusi, hingga akreditasi dapur," jelas Dadan.? Anggaran Raksasa, Manfaat Dipertanyakan
Program MBG menelan anggaran Rp335 triliun yang sebagian besar diambil dari pos pendidikan. Namun hingga September 2025, serapan anggaran baru Rp13,2 triliun atau 18,6% dari target Rp71 triliun di APBN tahun ini.Di sisi lain, Presiden Prabowo dalam pidato capaian kerja hanya menyoroti jumlah penerima manfaat yang diklaim mencapai 22 juta anak, tanpa menyebut transparansi soal jumlah kasus keracunan yang terjadi.
? Dilema: Dihentikan atau Dialihkan?
Kini, publik dihadapkan pada dilema besar: apakah program MBG perlu dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh, atau sebaiknya anggarannya dialihkan ke pendidikan?
Di tengah tingginya angka keracunan, rasa trauma orang tua, dan sorotan atas tata kelola yang amburadul, pemerintah dituntut segera mengambil keputusan berani. Sebab jika tidak, MBG yang digadang sebagai program unggulan bisa berubah menjadi bumerang yang menggerogoti kepercayaan publik.*(j006)