JAKARTA — Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Sanusi Tambunan, memberikan penegasan terkait penggunaan sound system berdaya tinggi, seperti sound horeg, yang dapat menimbulkan kerusakan atau mafsadat.
Menurut Amirsyah, penggunaan alat tersebut dalam kondisi yang mengganggu dan merusak, hukumnya haram.
Pernyataan ini disampaikan Amirsyah menanggapi insiden meninggalnya seorang warga saat menyaksikan karnaval sound horeg di Lumajang, Jawa Timur.
"Mau sound horeg, mau sound festival, mau dengan nama apapun. Jika substansinya membisingkan, memecahkan gendang telinga, maka hal itu membawa mafsadat. Dan jika membawa mafsadat, hukumnya haram," jelas Amirsyah saat ditemui di Pullman Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/8).
Ia menambahkan bahwa mafsadat berarti kerusakan, sehingga apabila penggunaan sound system dilakukan dengan volume terukur dan bertujuan membawa manfaat, maka penggunaannya dapat dibenarkan.
"Kalau suaranya terukur dan indah, untuk membawa manfaat, itu boleh. Namun kalau sampai memecahkan gendang telinga, bagaimana?" tambahnya.
Selain itu, Amirsyah menekankan pentingnya literasi kepada masyarakat terkait dampak penggunaan sound system berdaya tinggi.
Pendekatan edukatif dinilai perlu digalakkan guna meningkatkan pemahaman.
"Yang diperlukan adalah literasi yang mencakup membaca, menulis, memahami, dan mengimplementasikan. Mari kita ajak masyarakat memperkuat literasi ini," ucapnya.
Amirsyah juga menyarankan agar penggunaan sound horeg, baik untuk hiburan maupun acara budaya, harus diatur secara ketat demi keselamatan bersama.
"Pengaturan penggunaan sound horeg perlu dilakukan dengan baik, karena tujuan alat ini adalah untuk membawa manfaat agar didengar, bukan untuk merusak pendengaran," ujarnya.
Terkait regulasi, Amirsyah mendorong pemerintah pusat dan daerah segera menyusun aturan teknis terkait penggunaan sound system tersebut.