MADINA - Di tengah pesta adat yang meriah, di antara gemuruh Gordang Sambilan dan gemerlap busana pengantin, terdengar lantunan lirih:
"Tinggallah sudah pancuran tempat mandi iniā¦"
Bukan hanya sekadar nyanyian. Ini adalah jeritan hati. Onang-onang, tradisi lisan masyarakat Mandailing yang selama ini kerap disalahpahami sebagai sekadar hiburan, ternyata menyimpan kedalaman emosi yang menyayat.
Dibalut dalam bentuk nyanyian sederhana namun menggetarkan, Onang-onang adalah simbol perpisahan, cinta orang tua, dan kenangan masa kecil yang perlahan ditinggalkan.
Warisan Lirih dari Seorang Ibu
Secara etimologis, "Onang" berasal dari kata "inang" dalam bahasa Mandailing yang berarti ibu. Tradisi ini diyakini bermula dari ratapan seorang anak yang memanggil ibunya dengan lirih, penuh kerinduan, menjelang masa perpisahan. Asalnya bukan dari panggung hiburan, tetapi dari "hata andung", ratapan dan kata-kata kesedihan.
Meskipun kini Onang-onang dilantunkan dalam pernikahan sebagai bagian dari ritual adat, akarnya yang penuh duka tak pernah hilang. Di balik senyum sang pengantin, ada isak tertahan dari sang ibu yang sedang belajar melepaskan.
Antara Haru dan Bahagia: Kisah Lirik Perpisahan
Lirik-lirik Onang-onang tidak jarang membahas momen sederhana, seperti tempat mandi atau halaman rumah yang biasa digunakan anak semasa kecil. Seperti dalam bait:
"Tinggallah sudah pancuran tempat mandi ini..."
Sebuah metafora sederhana yang menggambarkan beratnya hati seorang ibu melepas anak perempuannya ke rumah mertua.
Tradisi ini menjadi ruang bagi orang tua menyampaikan nasihat, kenangan, hingga permohonan maaf. Dalam tiap syairnya, tersimpan kasih yang tak terucapkan dalam kata sehari-hari.