JAKARTA -Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjadi saksi persidangan yang memukau saat Muhammad Hatta, mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), mengungkap fakta mengejutkan terkait pengadaan rompi antipeluru. Uang senilai Rp 50 juta digunakan untuk membeli perlengkapan tersebut, yang diklaim untuk keperluan Menteri Pertanian saat itu, Syahrul Yasin Limpo (SYL), dalam kunjungannya ke Papua.
Dalam ruang sidang yang penuh tegang, Hatta menjelaskan bahwa rompi-rompi tersebut disiapkan untuk SYL oleh pihak TNI atau BNPT. Pertanyaan terus mengalir dari jaksa terkait sumber dan penggunaan dana tersebut, mencuatkan keraguan terhadap prosedur yang seharusnya ada dalam penggunaan anggaran di Kementan.
Jaksa Meyer Simanjuntak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengupas detil, mencoba memahami alur pengadaan rompi tersebut. Namun, yang menarik perhatian adalah keterlibatan Karina, seorang staf Biro Umum Kementan, dalam proses pembayaran. Hatta menegaskan bahwa permintaan untuk dana tersebut bukan berasal darinya, melainkan melalui informasi dari Panji Hartanto, ajudan pribadi SYL.
“Ini bukan saya yang meminta,” tegas Hatta di hadapan jaksa, mencoba membersihkan namanya dari dugaan penyalahgunaan wewenang. Namun, pertanyaan-pertanyaan terus menggali tentang keabsahan anggaran dan apakah ada dokumen resmi yang mendukung pencairan dana sebesar Rp 50 juta tersebut.
Kasus ini menjadi cerminan kehidupan korupsi di dalam birokrasi, di mana kepentingan pribadi diduga sering kali mendahului kewajiban moral dan legalitas penggunaan dana publik. SYL, bersama dengan Kasdi Subagyono, eks Sekjen Kementan, dituduh memeras dan menerima gratifikasi dari berbagai pejabat di Kementan, dengan total nilai yang mencengangkan.
“Total uang yang diduga diterima SYL mencapai Rp 13,9 miliar, namun dalam hasil akhir penyidikan KPK, nilainya melonjak menjadi Rp 44,5 miliar,” demikian keterangan yang disampaikan oleh jaksa, menggambarkan skala pemerasan yang dilakukan di lingkungan Kementan.
Penggunaan uang rasuah ini, menurut penyidikan, tidak hanya untuk kepentingan pribadi SYL dalam membayar cicilan kartu kredit atau membeli mobil Alphard mewah, tetapi juga untuk kebutuhan pribadi lainnya yang tidak sesuai dengan etika kepemimpinan publik.
Perjalanan persidangan ini menjadi sorotan publik yang luas, mencerminkan betapa rapuhnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di lembaga-lembaga pemerintahan. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai proses pengambilan keputusan dan pengelolaan dana publik yang transparan di Kementan.
Melalui proses persidangan ini, diharapkan kebenaran akan terungkap secara tuntas dan adil bagi semua pihak yang terlibat. Namun, cerita ini juga menjadi peringatan keras bagi setiap pejabat publik akan bahayanya korupsi dan pemerasan, serta urgensi untuk memperkuat sistem pengawasan dan akuntabilitas di dalam pemerintahan.
(N/014)
Kementan Pernah Beli 4 Rompi Antipeluru Rp 50 Juta untuk SYL ke Papua