BREAKING NEWS
Sabtu, 27 September 2025

Prof. Ichwan Azhari: Bapak Pers Indonesia Seharusnya Dja Endar Moeda, Bukan Tirto Adhi Soerjo

Raman Krisna - Sabtu, 20 September 2025 15:37 WIB
Prof. Ichwan Azhari: Bapak Pers Indonesia Seharusnya Dja Endar Moeda, Bukan Tirto Adhi Soerjo
surat kabar Tapian Na Oeli pada 1901 (foto : bitv)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung
MEDAN – Sejarawan senior Prof. Ichwan Azhari menyatakan bahwa gelar Bapak Pers Indonesia seharusnya disematkan kepada Dja Endar Moeda Harahap, bukan kepada Tirto Adhi Soerjo seperti yang selama ini dikenal luas dalam narasi sejarah nasional.

Dalam pernyataannya, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Medan (UNIMED) itu menekankan pentingnya meluruskan sejarah pers Indonesia berdasarkan bukti faktual. Ia menilai kontribusi Dja Endar Moeda dalam dunia jurnalistik jauh lebih awal dan fundamental.

"Kalau kriterianya adalah siapa yang lebih dulu menerbitkan surat kabar pribumi dan menuliskan gagasan kebangsaan, maka Dja Endar Moeda jauh lebih layak disebut sebagai Bapak Pers Indonesia," ujar Prof. Ichwan.

Dja Endar Moeda, yang lahir di Padangsidimpuan tahun 1861, telah menerbitkan surat kabar Tapian Na Oeli pada 1901, yang distribusinya bahkan mencapai Batavia dan Amsterdam. Di sisi lain, Tirto Adhi Soerjo, yang lahir pada 1880, baru aktif menerbitkan Soenda Berita pada 1903, dan kemudian Medan Prijaji pada 1907.

Meskipun Tirto telah diakui sebagai Bapak Pers Indonesia sejak era Orde Baru dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2006, Prof. Ichwan mengajak publik dan pemerintah untuk melihat ulang fakta sejarah yang lebih lengkap dan adil.

"Sejarah tidak boleh dibekukan oleh kebijakan. Bila ada data dan fakta baru yang lebih kuat, maka sejarah harus diluruskan. Kita tidak sedang meniadakan jasa Tirto, tapi menempatkan Dja Endar Moeda pada tempat yang semestinya," tambahnya.

Prof. Ichwan berharap pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dapat membuka ruang dialog akademik untuk meninjau kembali keputusan yang sudah berlaku lebih dari lima dekade.

Langkah ini dinilainya penting agar generasi muda dapat memahami sejarah pers nasional dengan perspektif yang lebih objektif dan berdasarkan data faktual, bukan sekadar narasi yang telah dibakukan tanpa revisi.*
Editor
: Justin Nova
0 komentar
Tags
beritaTerkait
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru