Dalam mazhab Syafii, hukum menelan dahak saat berpuasa dirinci menjadi dua pendapat. Menurut Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir, terdapat dua pandangan terkait menelan dahak:
Pendapat pertama menyatakan bahwa menelan dahak dapat membatalkan puasa.
Pendapat kedua berpendapat bahwa menelan dahak tidak membatalkan puasa, namun pandangan yang lebih kuat menyatakan bahwa menelannya tetap membatalkan puasa, terutama jika dahak berasal dari dada dan kemudian ditelan, karena dianggap seperti muntah. Sebaliknya, jika dahak hanya berasal dari tenggorokan atau otak, maka tidak membatalkan puasa karena dianggap seperti ludah.
Dr. Syeikh Muhammad Hasan Hitoe, seorang ulama ushul fiqh dan pengajar di Al-Azhar Mesir, memberikan penjelasan lebih lanjut terkait dua kondisi menelan dahak saat berpuasa:
Dahak Tidak Sampai ke Batas Mulut
Jika dahak hanya berada di tenggorokan dan tidak sampai keluar dari mulut, maka menelannya tidak membatalkan puasa menurut kesepakatan ulama.
Dahak Sampai ke Batas Mulut
Jika dahak sudah keluar dan mencapai batas mulut, ada dua kemungkinan:
Jika seseorang tidak mampu mengeluarkan dahaknya dan tanpa sengaja tertelan kembali, maka puasanya tetap sah.
Namun, jika seseorang bisa meludahkannya tetapi justru sengaja menelannya, maka puasanya batal menurut mayoritas ulama.