BITVONLINE.COM -Menjelang Hari Raya Idul Fitri, tradisi penukaran uang baru menjadi kebiasaan yang dinanti masyarakat.
Namun, praktik ini sering kali diwarnai oleh adanya biaya tambahan atau potongan tertentu, yang dalam perspektif hukum Islam dapat dikategorikan sebagai riba.
Penukaran uang baru umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan memberikan 'angpao' atau 'THR' kepada sanak saudara dan anak-anak.
Namun, di banyak tempat, terutama di lokasi-lokasi informal seperti pinggir jalan atau jasa penukaran di pusat perbelanjaan, masyarakat sering kali harus membayar lebih untuk mendapatkan uang pecahan kecil.
Sebagai contoh, untuk menukar Rp100.000 dalam pecahan kecil, seseorang bisa dikenai biaya tambahan sebesar Rp10.000 hingga Rp20.000.
Praktik ini termasuk dalam kategori riba fadhl, yaitu pertukaran barang sejenis dengan kelebihan nilai di salah satu pihak.
Dalam Islam, penukaran uang harus dilakukan dengan nilai yang setara tanpa ada tambahan atau potongan. Jika ada selisih yang menguntungkan salah satu pihak, maka hal itu termasuk dalam kategori riba yang dilarang.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah memberikan pandangan mengenai hal ini.
Dalam beberapa fatwa, MUI menegaskan bahwa penukaran uang yang mengandung unsur tambahan atau biaya yang tidak sah dapat termasuk dalam transaksi yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Untuk menghindari praktik riba, masyarakat disarankan menukar uang baru di bank yang secara resmi menyediakan layanan tersebut tanpa biaya tambahan.
Selain itu, pemerintah dan lembaga keuangan diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan fasilitas penukaran uang guna menghindari praktik yang merugikan masyarakat secara syariah.