JAKARTA — Serangan militer Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran yang diumumkan langsung oleh Presiden Donald Trump melalui platform Truth Social diprediksi akan memicu gejolak di pasar global saat dibuka kembali awal pekan ini.
Ketidakpastian geopolitik dan potensi eskalasi konflik di Timur Tengah membuat para pelaku pasar bersiap menghadapi lonjakan harga energi dan naiknya inflasi secara global.
Jack Ablin, Kepala Investasi di Cresset Capital, mengatakan serangan ini menambah "lapisan risiko baru" yang dapat berdampak langsung pada harga minyak dan inflasi.
"Ini pasti akan berdampak pada harga energi dan berpotensi pada inflasi juga," ujarnya.
Sejak awal Juni, harga minyak mentah global Brent telah naik 18 persen, dan menyentuh level tertinggi dalam hampir lima bulan di USD79,04 per barel pada Kamis (20/6).
Para analis memprediksi harga ini masih bisa terus menanjak apabila konflik terus meluas.
Laporan Oxford Economics sebelum serangan AS menyebutkan bahwa dalam skenario terburuk, yakni penutupan Selat Hormuz dan penghentian total produksi minyak Iran, harga minyak dunia dapat melonjak hingga USD130 per barel.
Hal ini diperkirakan mendorong inflasi AS mendekati 6 persen pada akhir 2025.
"Efek guncangan harga minyak akan meredam belanja konsumen karena daya beli melemah. Dalam kondisi ini, peluang penurunan suku bunga oleh The Fed tahun ini akan semakin tipis," tulis Oxford Economics.
Reaksi pasar terhadap keterlibatan AS dalam konflik ini diperkirakan akan ditandai oleh aksi jual saham dan peralihan ke aset aman (safe haven) seperti dolar AS, emas, dan obligasi pemerintah.
Ketidakpastian akan respons Iran dan stabilitas regional memicu kekhawatiran investor terhadap volatilitas tinggi di pasar keuangan.
Mark Spindel, Kepala Investasi di Potomac River Capital, mengatakan, "Kami belum punya penilaian kerusakan. Meskipun Trump menyebut serangan ini sebagai 'berhasil', kita tetap terlibat. Ketidakpastian akan menyelimuti pasar."