Selain itu, Marulam juga menekankan pentingnya perlindungan hukum terhadap pelaku seni pertunjukan, seperti penyanyi dan musisi, yang tampil di luar negara asalnya. Perlindungan ini tertuang dalam Article 4a International Convention for The Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations (Rome Convention-1961).
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya pemahaman yang tepat mengenai Pasal 9 ayat (2) UU No. 38 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang tidak boleh ditafsirkan terlalu luas. Pasal ini seharusnya tidak menghalangi seseorang untuk menyanyikan lagu dalam pertunjukan langsung, karena hal tersebut merupakan hak berekspresi yang mendukung pengembangan kreativitas.
Sebagai solusi, Marulam mengusulkan perlunya mekanisme lisensi yang jelas dan sistem royalti yang adil bagi pencipta lagu. Dalam hal ini, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dapat berperan penting dalam mengatur mekanisme tersebut, memastikan hak pencipta terlindungi dan memungkinkan kolaborasi positif antar pelaku seni.
Kasus ini menjadi sorotan penting bagi industri musik Indonesia dan perlindungan hak cipta di era digital. Para pelaku seni dan musisi berharap ada ruang bagi kebebasan berekspresi tanpa takut melanggar hak cipta, dengan tetap menghargai hak-hak pencipta lagu.