JAKARTA – Pasangan Pipit Sri Hartanti dan Supardi telah mengambil langkah berani dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melegalisasi penggunaan ganja dalam keperluan medis. Motivasi mereka adalah keadaan salah satu anak mereka yang mengalami cerebral palsy sejak kecil. Dalam gugatannya, mereka menyoroti UU 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.
Pipit-Supardi secara khusus menguji Pasal 1 ayat (2) UU 8/1976 dan materi Paragraf 7 dan Paragraf 8 UU Narkotika. Mereka meyakini bahwa kedua pasal tersebut bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, seperti Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (2), yang mengatur hak atas perlindungan atas kesehatan dan hak atas kehidupan yang layak bagi setiap warga negara.
Hakim konstitusi M Guntur Hamzah menyoroti konsiderans ‘mengingat’ yang diujikan oleh para Pemohon, menyatakan potensi kerusakan terhadap konstruksi sebuah undang-undang. Sementara itu, hakim konstitusi Daniel Yusmic memberikan nasihat untuk memperbaiki permohonan dengan menguraikan secara lebih rinci pasal-pasal yang dijadikan dasar pengujian, beserta kerugian konstitusionalitas yang terjadi.
Pengacara Pipit-Supardi, Singgih Tomi Gumilang, menjelaskan bahwa kliennya telah melakukan segala upaya untuk kesembuhan anak mereka. Mereka menegaskan bahwa terapi menggunakan minyak dari formulasi cannabis atau ganja, dengan kandungan cannabidiol dan THC, telah terbukti efektif bagi anak yang mengalami gangguan motorik kompleks.
Sidang akan dilanjutkan pada tanggal 26 Februari 2024. MK sebelumnya juga telah mengadili isu sejenis terkait ganja medis, di mana MK menolak gugatan terhadap UU Narkotika namun juga menyatakan pemahaman dan empati tinggi terhadap para penderita penyakit tertentu yang merasa terbantu dengan terapi menggunakan jenis narkotika golongan I.