TAPANULI SELATAN – Seorang pemilik yayasan pondok pesantren di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan kekerasan seksual terhadap seorang santriwati yang masih di bawah umur.
Laporan resmi tersebut teregistrasi dalam surat keterangan Polisi dengan nomor STTLP/B/232/VII/2025/SPKT/Polres Tapsel Sumut, tertanggal 31 Juli 2025, yang diterima pada Selasa (5/8/2025).
Dalam laporan tersebut, terlapor berinisial MN, yang diketahui merupakan pemilik yayasan pondok pesantren tempat korban menempuh pendidikan.
Dugaan perbuatan tidak senonoh itu dilaporkan oleh ibu korban, inisial AA, setelah sang anak mengaku mengalami pelecehan dan persetubuhan secara berulang selama tahun 2021 hingga 2022.
"Korban menyampaikan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi, dan perbuatan tersebut terjadi lebih dari enam kali di lingkungan pesantren," ujar AA dalam laporannya kepada pihak kepolisian.
Kasus ini dilaporkan dengan mengacu pada Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Menanggapi kasus ini, Sukri Pulungan, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kesehatan Mental (Puskestal) Indonesia, menyatakan keprihatinannya.
Ia menegaskan bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya pesantren, menjadi fenomena yang berulang dan membutuhkan penanganan serius.
"Kasus-kasus seperti ini tidak boleh dianggap biasa. Korban memerlukan pendampingan profesional agar bisa pulih secara psikologis," ujar Sukri dalam keterangannya.
Puskestal Indonesia juga mendesak aparat penegak hukum agar segera merespons laporan tersebut dengan tindakan yang tegas dan cepat.
Selain itu, Sukri meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) setempat untuk turut hadir dalam proses pendampingan dan pemulihan korban.
"Korban dan keluarganya tidak boleh merasa sendirian. Pemerintah daerah melalui DP3A harus hadir secara aktif," tambahnya.