Arifah menilai pengadilan militer seharusnya memberikan hukuman yang setimpal agar memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak.
"Setiap bentuk kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana yang tidak dapat ditoleransi dan harus diproses secara transparan, adil, dan memberikan efek jera yang setimpal," ujar Arifah dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).
Arifah menyoroti vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim di pengadilan militer, yang jauh lebih ringan dibandingkan ancaman hukuman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Menurutnya, kasus penganiayaan terhadap korban MHS seharusnya diproses di pengadilan umum, sesuai ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelanggaran hukum pidana umum semestinya diproses di peradilan umum, bukan peradilan militer," jelasnya.
Menteri Arifah mendorong seluruh aparat penegak hukum, baik di peradilan umum maupun militer, menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap proses dan putusan.
Ia juga meminta Oditur Militer mengajukan upaya banding dan Mahkamah Agung (MA) turun tangan mengawasi proses putusan tersebut.
"Hal ini penting agar putusan yang dijatuhkan memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Pengadilan militer harus memastikan setiap bentuk kekerasan terhadap anak ditangani secara transparan, profesional, dan berperspektif korban," tegas Arifah.
Kasus ini bermula pada 24 Mei 2024, ketika MHS dan temannya berada di lokasi tawuran di Jalan Pelican, Deli Serdang.
Dalam upaya pembubaran tawuran, MHS diduga ditangkap dan dianiaya oleh oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) hingga mengalami luka berat dan meninggal dunia, meskipun korban tidak terlibat dalam tawuran. Ibu korban kemudian melapor ke Detasemen Polisi Militer I/5 dengan nomor laporan TBLP-58/V/2024.
Setelah lebih dari satu tahun proses hukum berjalan, pengadilan militer menjatuhkan vonis pada 20 Oktober 2025, berupa hukuman penjara selama 10 bulan dan pembayaran restitusi sebesar Rp12.777.100.