Hilangnya tutupan hutan di ekosistem ini diduga menjadi salah satu faktor utama banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi belakangan ini.
Sejumlah pihak, baik individu maupun perusahaan, disebut terlibat dalam pengurangan tutupan hutan, sehingga memicu kerusakan lingkungan yang signifikan.
Ketua Sarekat Hijau Indonesia Sumatera Utara, Hendrawan Hasibuan, menegaskan pentingnya penegakan hukum yang objektif dan transparan terhadap pelaku deforestasi, baik perorangan maupun korporasi.
"Hilangnya satu batang pohon pun merupakan kejahatan karena berdampak pada deforestasi yang menyebabkan banjir dan longsor. Tidak boleh ada perlakuan tebang pilih dalam penegakan hukum," kata Hendrawan, Rabu (17/12/2025).
Bareskrim Polri sebelumnya telah memeriksa 17 orang terkait temuan kayu gelondongan yang terbawa banjir di Batangtoru.
Selain itu, beberapa perusahaan besar yang beroperasi di hulu dan hilir DAS Batangtoru juga menjadi sorotan. Di antaranya: - PT Agincourt Resources (pertambangan emas) - PT North Sumatra Hydro Energy (PLTA) - PT Sago Nauli Plantation (perkebunan sawit) - PTPN III Batangtoru Estate (perkebunan sawit)
Tak hanya perusahaan, 12 individu pemegang hak atas tanah (PHAT) juga diduga melakukan pembalakan liar di wilayah hutan.
Beberapa PHAT ini berada di dekat DAS Batangtoru, sementara lainnya melakukan aktivitas di ekosistem kritis tersebut.
Dari daftar PHAT, sebagian masih aktif namun dibekukan izin pengelolaannya.
Hendrawan menegaskan, penindakan harus sesuai kapasitas pelaku dan berdasarkan bukti.
"Semua yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan harus bertanggung jawab secara hukum," ujarnya.