JAKARTA – Sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat kembali mengungkap skandal yang melibatkan pengusaha Harvey Moeis, yang diduga menerima bayaran antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per bulan sebagai wakil PT Refined Bangka Tin (PT RBT) dalam kerja sama dengan PT Timah Tbk. Pengakuan ini terungkap saat Harvey memberikan kesaksian di hadapan hakim, di mana ia mengaku baru mengetahui tentang aliran dana tersebut saat memeriksa rekening korannya dalam konteks penyidikan dugaan korupsi yang melibatkannya.
Ketua majelis hakim, Eko Aryanto, langsung menyoroti besaran fee yang diterima Harvey, mempertanyakan mengapa seorang perwakilan bisa mendapatkan imbalan yang signifikan tanpa adanya kejelasan perjanjian resmi. “Tapi untuk ini, saksi Harvey Moeis dapat apa dari RBT? Sedangkan sering datang gitu Pak, sering datang malah mengalahkan direktur utamanya gitu,” tanya hakim, yang disambut pengakuan dari Suparta, Direktur Utama PT RBT, bahwa Harvey memang menerima fee yang bervariasi setiap bulannya.
Harvey menegaskan bahwa tidak ada perjanjian tertulis yang mengatur posisinya di PT RBT. Ia menyebutkan bahwa perannya lebih bersifat informal, mengingat hubungan dekatnya dengan Suparta, yang dianggapnya seperti saudara. “Sama sekali tidak ada Yang Mulia,” jawab Harvey saat ditanya hakim mengenai perjanjian resmi terkait pembayaran yang diterimanya.
Dalam kasus ini, Harvey dan Suparta dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa lainnya yang terlibat dalam jaringan korupsi ini, termasuk Suwito Gunawan alias Awi dan Robert Indarto. Jaksa menyebutkan bahwa Harvey terlibat dalam praktik kongkalikong terkait proses pemurnian timah yang ditambang secara ilegal, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
Jaksa mengungkapkan bahwa kerja sama sewa peralatan antara PT Timah dan lima smelter swasta tersebut hanyalah akal-akalan belaka, di mana harga sewa yang dikenakan jauh melebihi nilai harga pokok penjualan (HPP) smelter PT Timah. Lebih lanjut, Harvey juga dituduh meminta pihak-pihak smelter untuk menyisihkan sebagian keuntungan yang dihasilkan, yang seolah-olah ditujukan untuk dana corporate social responsibility (CSR).
Dugaan korupsi ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menguntungkan beberapa individu, termasuk Harvey Moeis dan “crazy rich” Pantai Indah Kapuk, Helena Lim, dengan total kerugian mencapai Rp 420 miliar. Harvey juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sedangkan Helena diduga menampung hasil dari aktivitas korupsi ini.
Kasus ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, serta tantangan yang dihadapi dalam memberantas praktik korupsi yang melibatkan aktor-aktor besar dalam industri. Masyarakat menanti keputusan hakim yang diharapkan bisa memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dan memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
(K/09)
Harvey Moeis Tak mengetahui Dapat Rp 100 Juta/Bulan Saat Cek Rekening Koran