SEOUL -Ribuan warga Korea Selatan memadati jalanan ibu kota Seoul pada Sabtu (5/4) untuk menyuarakan dukungan terhadap mantan Presiden Yoon Suk Yeol, yang secara resmi dimakzulkan oleh Mahkamah Konstitusi sehari sebelumnya.
Meskipun diguyur hujan deras, para pendukung Yoon tetap bertahan di lapangan, meneriakkan slogan-slogan seperti "Pemakzulan tidak sah!" dan "Batalkan pemilu darurat!"
Putusan tersebut menyusul tindakan kontroversial Yoon pada 3 Desember 2024 lalu, saat ia berusaha memberlakukan status darurat militer untuk merespons ancaman yang disebutnya sebagai gerakan anti-negara.
Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap sistem pemerintahan sipil dan memicu keputusan untuk menggelar pemilu darurat pada Juni mendatang.
"Keputusan Mahkamah Konstitusi menghancurkan demokrasi bebas negara kita," ujar Yang Joo-young (26), salah satu demonstran yang hadir.
Sementara sebagian warga menyambut keputusan MK dengan pelukan dan tangis haru, kalangan konservatif—termasuk tokoh agama ekstrem dan YouTuber sayap kanan—mengklaim bahwa Korea Selatan sedang berada di ambang menjadi negara komunis.
"Saya merasa Korea Selatan sudah tamat. Negara ini telah berubah menjadi negara sosialis dan komunis," ujar Park Jong-hwan (59), pendukung Yoon.
Peneliti pascadoktoral dari William & Mary Global Research Institute, Minseon Ku, mengatakan bahwa pemerintahan Yoon telah mencerminkan tingkat polarisasi yang ekstrem dalam masyarakat Korea Selatan.
"Kepresidenan Yoon memperlihatkan betapa terbelahnya masyarakat akibat polarisasi politik dan penyebaran informasi keliru," ujarnya.
Dengan pemilu baru yang akan digelar pada Juni 2025, nama Lee Jae-myung, pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, digadang-gadang sebagai kandidat kuat.
Lee dikenal dengan pendekatan damainya terhadap Korea Utara dan kebijakan yang bertolak belakang dengan garis keras Yoon Suk Yeol.
Situasi politik Korea Selatan saat ini disebut-sebut sebagai yang paling tegang dan tak terduga sejak reformasi demokrasi tahun 1987.