WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memantik kontroversi global usai mengumumkan serangan militer terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran, yaitu Fordow, Natanz, dan Isfahan, Sabtu (21/6/2025) malam.
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Trump menyebut serangan itu sebagai "keberhasilan militer spektakuler" dan memperingatkan bahwa serangan lebih besar bisa terjadi bila Iran tak memilih jalan damai.
"Fasilitas pengayaan nuklir utama Iran telah sepenuhnya dihancurkan," ujar Trump dari White House Cross Hall, Minggu (22/6), seraya menegaskan kesiapan AS meluncurkan serangan tambahan "dalam hitungan menit".
"Tak ada presiden yang boleh secara sepihak membawa negara ini ke perang tanpa strategi jelas dan ancaman nyata," tegas Schumer.
Anggota Kongres Alexandria Ocasio-Cortez menyebut keputusan Trump sebagai tindakan impulsif yang bisa menyeret AS ke konflik generasi panjang.
Bahkan, ia menyebut tindakan itu sebagai alasan sah untuk pemakzulan.
Sementara Ilhan Omar menyebutnya sebagai "eskalasi gegabah dan berbahaya".
Kritik juga datang dari Yassamin Ansari yang mendesak diadakannya sidang darurat Kongres untuk memberikan suara pada Resolusi Kekuasaan Perang.
Klaim Trump terkait penghancuran total fasilitas nuklir Iran dibantah oleh sejumlah pejabat Teheran.
Kantor berita resmi IRNA melaporkan bahwa kondisi di sekitar Fordow normal dan tak ada ledakan besar yang dirasakan penduduk setempat.
"Tidak ada kerusakan serius di Fordow. Sebagian besar hanya terjadi di tanah dan dapat dipulihkan," kata Manan Raisi, perwakilan Qom, wilayah tempat Fordow berada.
Pihak Organisasi Energi Atom Iran juga memastikan tak ada kebocoran bahan radioaktif yang terjadi.
Bahkan, uranium yang sebelumnya disimpan di Fordow dilaporkan telah lebih dulu dipindahkan.
Markas Besar Manajemen Krisis Provinsi Qom juga menegaskan bahwa "tidak ada ancaman terhadap warga sipil" dan kondisi saat ini stabil.
Peneliti senior dari Pusat Studi Strategis Timur Tengah di Teheran, Abas Aslani, menyebut Iran memiliki tiga opsi balasan:
1. Reaksi terbatas – tergantung pada tingkat kerusakan.
2. Perang skala penuh – dengan kemungkinan menyerang situs nuklir Israel dan kepentingan AS.
3. Kombinasi taktis – seperti menutup Selat Hormuz untuk mengganggu jalur energi dunia.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi mengecam keras aksi AS.
"Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional dan Piagam PBB. Setiap anggota PBB harus waspada," tegas Araghchi.
Dalam pidato yang sama, Trump memberi ultimatum kepada Iran: berdamai atau menghadapi "tragedi lebih besar".
Ia menekankan bahwa operasi militer berikutnya bisa dilakukan secara presisi, cepat, dan "dalam hitungan menit."
"Masih banyak target tersisa. Ini bisa berakhir dengan damai, atau jadi malapetaka bagi Iran," ujar Trump.
Konflik ini diprediksi akan memicu ketegangan baru di kawasan, memperbesar risiko perang terbuka antara dua negara yang memiliki pengaruh besar di Timur Tengah.*