MEDAN - Persoalan klaim empat pulau di Aceh yang disebut-masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut), memantik sorotan tajam dari akademisi dan pengamat kebijakan publik, Shohibul Anshor Siregar.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhamatera Utara (UMSU) ini menegaskan, jika benar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah disurati sejak 2017 namun tak kunjung direspons, ini menunjukkan pembiaran serius dan abainya pemerintah pusat terhadap persoalan fundamental yang bisa memicu konflik.
"Ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan menyangkut kedaulatan wilayah dan hak-hak masyarakat adat yang mendiami pulau-pulau tersebut," tegas Shohibul Anshor Siregar, Senin (2/6/2025).
"Jika Kemendagri sudah disurati sejak 2017 namun tidak digubris, ini adalah preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan dan keadilan spasial di Indonesia," katanya.
Shohibul menekankan pentingnya dasar hukum yang jelas dalam penentuan batas wilayah. Menurutnya, klaim sepihak tanpa landasan yuridis yang kuat, hanya akan memperkeruh suasana dan mengikis kepercayaan publik. Proses penentuan batas wilayah seharusnya melibatkan partisipasi aktif dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Ia juga menyoroti akuntabilitas Kemendagri. "Ketidakresponsifan Kemendagri selama bertahun-tahun adalah bentuk kelalaian serius," ujarnya.
Fungsi Kemendagri sebagai pembina dan pengawas urusan pemerintahan daerah, katanya, seharusnya proaktif dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah, bukan justru mendiamkan.
Lebih jauh, Shohibul mempertanyakan alasan di balik pembiaran ini. "Ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa aduan yang menyangkut kedaulatan wilayah sebuah provinsi bisa diabaikan begitu saja? Apakah ada motif lain di balik pembiaran ini, ataukah memang ada ketidakmampuan birokrasi dalam menangani masalah sekompleks ini?" cetusnya.
POTENSI KONFLIK
Dampak dari pembiaran ini, lanjut Shohibul, adalah terciptanya ketidakpastian hukum bagi masyarakat di pulau-pulau yang disengketakan.
Mereka akan kesulitan dalam mengakses layanan publik, mengurus administrasi kependudukan, hingga persoalan kepemilikan lahan.
"Lebih jauh, situasi ini berpotensi memicu konflik antara masyarakat atau pemerintah daerah dari kedua provinsi jika tidak segera ditangani secara serius," kata Shohibul.