JAKARTA — Ratusan pengemudi ojek online (ojol) yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Senin (21/7).
Dalam aksinya, para pengemudi menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dan perusahaan aplikator, dengan menuntut penghapusan sistem multiorder serta penurunan potongan biaya aplikasi.
Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, menilai bahwa sistem multiorder atau double order telah menimbulkan banyak persoalan di lapangan, bahkan memicu konflik antara pengemudi dan pelanggan.
"Salah satu yang kami soroti adalah sistem multiorder. Ini menimbulkan banyak masalah. Terakhir di Yogyakarta, ada pengemudi yang berselisih dengan pelanggan karena keterlambatan pengantaran makanan, yang disebabkan sistem multiorder itu," ujar Igun kepada wartawan.
Selain soal multiorder, para pengemudi juga menyoroti tingginya potongan biaya dari perusahaan aplikasi, yang dinilai tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima.
Igun menyebut, meskipun pelanggan membayar dengan tarif tinggi, pengemudi hanya menerima sebagian kecil dari nilai tersebut.
"Kami temukan banyak kasus di mana pengemudi hanya mendapat Rp 5.000, padahal tarif yang dibayarkan pelanggan bisa mencapai Rp 20.000 hingga Rp 25.000. Ini sangat tidak adil," jelasnya.
Menurut Igun, regulasi yang tertuang dalam Kepmenhub KP 1001 Tahun 2025 menyebutkan bahwa potongan maksimal adalah 20%, terdiri dari 15% untuk aplikator dan 5% yang seharusnya dikembalikan kepada mitra.
Namun, praktiknya, potongan bisa jauh lebih tinggi.
"Kami minta agar potongan aplikasi diturunkan menjadi 10%. Karena selama ini potongan yang dilakukan aplikator bisa mencapai hampir 50%," tegasnya.
Dalam aksi tersebut, para pengemudi juga mengangkat kasus di Sleman, Yogyakarta, di mana salah satu rekan mereka menjadi korban penganiayaan.
Insiden itu terjadi setelah adanya keterlambatan pengantaran pesanan, yang diduga berkaitan dengan sistem multiorder.