BREAKING NEWS
Senin, 06 Oktober 2025

Kenaikan PPN 12% Mulai Januari 2025, Sorotan atas Dampak Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat

BITVonline.com - Sabtu, 16 November 2024 11:51 WIB
Kenaikan PPN 12% Mulai Januari 2025, Sorotan atas Dampak Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

BITVONLINE.COM– Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 kembali memunculkan sorotan tajam, terutama di tengah penurunan daya beli masyarakat yang dirasakan saat ini. Kebijakan ini, yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dinilai bisa semakin membebani masyarakat yang kini tengah berjuang menghadapi tantangan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam beberapa kesempatan menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini sudah diatur dalam UU HPP sebagai bagian dari langkah reformasi perpajakan guna menambah pos penerimaan negara. Menurut Sri Mulyani, meski tantangan ekonomi global dan penurunan daya beli terjadi, pemerintah perlu menjaga keseimbangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) agar tetap sehat dan berkelanjutan.

Sebelum tarif PPN diputuskan naik menjadi 11 persen pada 1 April 2022, Indonesia telah memberlakukan tarif 10 persen selama bertahun-tahun. Dengan kebijakan baru ini, tarif PPN Indonesia pada 2025 akan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara, seiring dengan Filipina yang juga menerapkan tarif PPN 12 persen.

Dengan tarif PPN 12 persen yang mulai berlaku pada Januari 2025, Indonesia akan berada di peringkat teratas bersama Filipina dalam hal tarif pajak barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara lain di Asia Tenggara yang menerapkan tarif PPN lebih rendah antara lain Singapura (7 persen), Thailand (7 persen), Vietnam (5-10 persen), dan Malaysia yang menerapkan pajak penjualan barang (Sales Tax) 10 persen dan pajak jasa (Service Tax) 8 persen.

Sebagai pembanding, di kawasan Asia Timur, negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan juga menerapkan tarif PPN yang relatif lebih rendah, masing-masing 10 persen. Sementara itu, negara-negara besar seperti China dan India memiliki tarif PPN yang bervariasi tergantung jenis barang dan jasa, dengan China menerapkan VAT 6, 9, dan 13 persen serta India yang memiliki sistem dua tarif antara 5 persen hingga 28 persen.

Kenaikan tarif PPN ini datang pada saat ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda melambat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 tercatat hanya 4,95 persen year-on-year (yoy), jauh lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang mencatatkan angka 5,93 persen. Dalam hal ini, konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor terbesar terhadap perekonomian Indonesia, juga melambat dengan angka pertumbuhan hanya sebesar 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari periode sebelumnya yang mencatatkan angka 4,93 persen.

Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Kholid, menyatakan kekhawatirannya mengenai kebijakan kenaikan PPN yang akan berlaku pada awal 2025. Ia berpendapat bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan tarif pajak karena daya beli masyarakat yang semakin tertekan. Kholid menyarankan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut, karena kenaikan PPN dikhawatirkan justru akan memperburuk situasi ekonomi dan semakin membebani masyarakat.

Meski demikian, pemerintah tetap berpegang pada urgensi kebijakan ini untuk meningkatkan penerimaan negara. PPN merupakan salah satu pajak terbesar kedua setelah Pajak Penghasilan (PPh) yang berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) bersama-sama menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 764,3 triliun sepanjang tahun 2023.

Sebagai bagian dari kebijakan perpajakan yang lebih luas, pemerintah berharap agar peningkatan PPN ini bisa mengimbangi penurunan penerimaan dari sektor lain akibat pertumbuhan ekonomi yang melambat. Namun, para ekonom dan anggota legislatif meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada penerimaan pajak semata, tetapi juga memperhatikan kondisi riil masyarakat yang sedang menghadapi tekanan ekonomi yang cukup berat.

Pemerintah diharapkan untuk lebih bijaksana dalam mengambil langkah-langkah fiskal, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global yang turut memengaruhi kondisi domestik. Para pengamat ekonomi meminta agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan-kebijakan lain yang lebih progresif dan berpihak pada masyarakat kelas menengah ke bawah, yang kini semakin terhimpit oleh biaya hidup yang terus meningkat.

Dengan semakin tingginya tarif PPN, masyarakat akan merasakan dampak langsung dalam bentuk harga barang dan jasa yang lebih mahal. Oleh karena itu, beberapa kalangan mengharapkan adanya kebijakan yang lebih bijaksana dalam menjaga daya beli dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Kenaikan PPN yang direncanakan pada Januari 2025 ini membawa polemik tersendiri. Di satu sisi, pemerintah menilai kebijakan ini sebagai langkah untuk memperkuat pendapatan negara dan menjaga stabilitas APBN. Namun di sisi lain, di tengah tekanan ekonomi yang terus meningkat, kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin memberatkan masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan ini dengan memperhatikan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan kestabilan ekonomi jangka panjang. (JOHANSIRAIT)

0 komentar
Tags
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru