BREAKING NEWS
Senin, 16 Juni 2025

Aku Tinggalkan Ibu Pertiwi

Puisi esai yang di fiksikan dari tingginya angka "brain drain" di Indonesia, dengan banyaknya talenta muda lebih memilih bekerja di luar negeri karena kurangnya apresiasi dan peluang di dalam negeri
Redaksi - Rabu, 12 Maret 2025 10:34 WIB
194 view
Aku Tinggalkan Ibu Pertiwi
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Penulis: Ririe Aiko

Di emperan jalan yang panas dan berdebu,

seorang pemuda duduk termenung,

Baca Juga:

menggenggam erat amplop coklat,

isinya bukan surat cinta,

bukan juga undangan bahagia,

melainkan harapan terakhir

yang tersisa dari perjuangan di bangku kuliah.

Adi mengenang hari wisuda,

saat jubah toga membungkus tubuhnya,

senyumnya terbingkai dalam foto keluarga.

"Anakku sudah S2,"

ibunya berkata bangga,

ayahnya menepuk pundaknya,

para tetangga datang memberi selamat,

"Sebentar lagi kau pasti sukses!"

Tapi sukses itu kini terasa ilusi.

Lembar lamaran kerja sudah ia sebarkan,

puluhan, ratusan, tak terhitung lagi.

Jawaban yang datang hanya sunyi,

atau sekadar balasan otomatis:

"Terima kasih telah melamar, tetapi…"

Adi pernah datang ke banyak perusahaan,

Swasta dan Pemerintahan,

mengikuti berbagai tes uji kelayakan,

Dari mulai uji kompetensi hingga uji fisik,

Kemampuannya selalu unggul,

Namun, saat masuk ruangan,

wawancara hanya jadi basa-basi,

sebab ia bukan anak siapa-siapa,

tak ada paman yang duduk di parlemen,

tak ada ayah yang punya saham perusahaan.

Di negeri ini, kerja keras tak cukup,

prestasi tak menjamin kerja layak, (2)

karena yang lebih diutamakan bukan isi kepala,

melainkan kartu nama dan daftar kenalan.

Sementara itu, di seberang jalan,

seorang pria muda keluar dari mobil mewah,

senyum percaya diri,

Ia baru saja diangkat sebagai pejabat

di sebuah BUMN.

IPK-nya pas-pasan,

pengalamannya nihil,

tapi namanya berbobot

marga yang sama dengan seorang menteri.

Ia tertawa pahit melihat ironi ini,

betapa dunia akademis menjanjikan harapan,

namun realitas justru menampar lebih keras.

Di rumah kontrakan kecilnya,

ibunya bertanya dengan suara ragu,

"Kapan kau mulai bekerja, Nak?"

Ia hanya bisa tersenyum,

menyembunyikan getir di balik kata-kata,

sebab bagaimana ia bisa mengatakan

bahwa ijazahnya kini tak lebih dari pajangan?

Maka ia memutuskan berdagang,

menjual es keliling di siang yang terik,

bukan karena itu cita-citanya,

tapi karena perut tak bisa menunggu.

Dulu ia menulis jurnal ilmiah,

sekarang ia menulis daftar tagihan bulanan.

Di malam hari, ia merenung,

melihat berita tentang korupsi triliunan rupiah,(3)

dana beasiswa yang diselewengkan,

anggaran pendidikan yang lenyap entah ke mana.

Negeri ini seharusnya kaya,

Jika koruptor tidak merajalela.

Adi pun mulai berpikir untuk pergi,

bukan karena tak cinta negeri,

tapi negeri ini tak membalas cintanya,

dengan harga yang pantas.

Adi ingat teman-temannya yang kini di luar negeri,

menjadi ilmuwan, insinyur,

dihargai dengan layak,

sementara di sini?

biaya kuliah tidak sebanding dengan gaji,

Adi pun mulai meninggalkan ibu Pertiwi

bukan karena tak ingin membangun negeri,

tapi karena negeri ini tidak memberikan kesempatan,

Untuk Adi tumbuh dan berkembang.

Maka jangan salahkan mereka yang pergi,

Tapi salahkan sistem,

yang mematikan mimpi anak bangsa.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Menteri ESDM Bahlil Sindir Pengeluh Lapangan Kerja: Jangan Kufur Nikmat!
komentar
beritaTerbaru