MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu. Jawabnya jelas karena yang butuh pekerjaan masih sangat banyak. Mereka yang menganggur, setengah menganggur, atau pura-pura kerja padahal 80% menganggur juga masih banyak.
Apalagi kalau pakai ukuran statistik, kita amat mafhum mengapa job fair selalu diburu. Dari sekitar 145,7 juta orang Indonesia yang bekerja, lebih dari separuh (lebih dari 59%) bekerja di sektor informal. Mereka itu bekerja, tapi tidak terlindungi secara layak. Bahkan, di antara mereka boleh dibilang setengah menganggur, sedangkan yang bekerja di sektor formal, yang terlindungi, yang punya jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja kurang dari 41%.
Karena itu, job fair yang kini digelar di sejumlah daerah di Tanah Air menjadi salah satu tumpuan. Itu termasuk tumpuan dari mereka yang bekerja, tapi di sektor informal tersebut. Siapa tahu rezeki menghampiri setelah diikhtiari. Namun, meski job fair memang berfungsi sebagai tempat bertemunya pencari kerja dan perusahaan, pameran tersebut belum tentu dapat menjadi solusi langsung untuk mengatasi pengangguran di Indonesia yang memang jumlahnya masih jutaan orang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang yang belum mendapatkan pekerjaan mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025 secara tahunan (year on year/yoy). Jumlah itu bertambah 83,45 ribu orang jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2024. Sementara itu, jumlah seluruh angkatan kerja di Indonesia per Februari 2025 mencapai 153,05 juta orang.
Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,76% per Februari 2025. Karena itu, keberadaan job fair itu hanyalah pintu masuk awal bagi para pencari kerja untuk memasukkan lamaran kerja mereka dan setelah itu ada proses yang harus dilewati pencari kerja. Belum lagi bila benar apa yang dikisahkan sejumlah netizen bahwa sejumlah perusahaan menggelar job fair sekadar syarat menggugurkan mereka dari kewajiban membayar denda bila menolak ikut serta di pameran bursa kerja. Karena itu, job fair yang disesaki ribuan orang itu pun bisa jadi sekadar formalitas.
Job fair sebenarnya tidak menyerap tenaga kerja secara signifikan karena kegiatannya hanya tahap awal dari proses rekrutmen yang masih harus dilanjutkan dengan berbagai tahapan seleksi. Karena itu, meskipun jumlah pelamar membeludak, hanya sebagian kecil yang benar-benar berhasil mendapatkan pekerjaan. Job fair akan sedikit efektif jika diikuti wawancara kerja karena dapat mempersingkat waktu tunggu pencari kerja dalam mendapatkan kepastian kerja. Jika hanya pendaftaran administrasi, akan jauh lebih efektif online job fair jika dibandingkan dengan job fair secara offline.
Itu pun, sekali lagi, belum tentu mengurai jumlah pengangguran dan masalah pekerja sektor informal yang terus naik. Tetap perlu perbaikan di sektor industri agar angka pengangguran bisa menurun, dan sektor informal juga menurun. Membeludaknya pengunjung job fair dalam beberapa waktu terakhir ini boleh jadi disebabkan penurunan kinerja sektor lapangan usaha, seperti industri manufaktur.
Ditambah lagi, masalah skill set dan kemampuan pencari kerja yang selama ini belum memenuhi berbagai persyaratan, akhirnya masalah-masalah di dunia ketenagakerjaan jadi kian pelik. Misalnya masalah pengangguran usia muda yang kian bertambah jumlahnya, pada saat yang 'senior' masih sangat produktif.
Lonjakan jumlah pencari kerja di job fair juga bisa mencerminkan kegagalan pengelola negeri ini dalam menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja secara efektif. Jumlah tenaga kerja terus bertambah secara deret ukur, sedangkan ketersediaan lapangan kerja selalu mengikuti deret hitung. Situasi seperti itu akhirnya tidak banyak membantu mengurangi tingkat pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi memang rata-rata ada di angka 5%, tetapi penyerapan tenaga kerja terus berkurang. Dulu, tiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap tenaga kerja hingga 400 ribu orang. Sekarang, 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap sekitar 150 ribu tenaga kerja saja. Itu berarti, faktor pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan kebijakan lain dan situasi lain yang melingkupinya.
Dengan demikian, urusan mengatasi pengangguran dan kemiskinan memang bertemali erat dengan berbagai kebijakan pembangunan, bukan sekadar kebijakan ekonomi. Saya teringat mahaguru di bidang ekonomi yang juga peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen, yang mengatakan bahwa untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan, permasalahan tidak bisa hanya didekati dengan kebijakan ekonomi an sich.