BREAKING NEWS
Jumat, 06 Juni 2025

Pancasila yang Laju dan yang Layu

Redaksi - Selasa, 03 Juni 2025 07:32 WIB
98 view
Pancasila yang Laju dan yang Layu
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Yudi Latif

DELAPAN puluh tahun telah berlalu sejak Bung Karno berpidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945. Di tengah suasana penjajahan yang menggoreskan luka dan harapan dalam satu tarikan napas, ia menggali dari kedalaman tanah dan jiwa Nusantara satu pusaka nilai yang disarikan menjadi Pancasila.

Di jantung kelima sila Pancasila tersebut berdetak jiwa gotong royong yang memompa darah sehat, menghidupi semangat kolektif yang menjadi penopang utama keberlangsungan bangsa ini. Gotong royong bukan sekadar kerja bersama. Ia adalah cara bangsa ini merawat luka, menganyam harapan dan mengatasi keterbatasan dalam peluk kebersamaan.

Baca Juga:

Ia tumbuh dari akar-akar budaya yang menjalar dalam sejarah ribuan tahun ketika gugus-gugus manusia kepulauan ini mengangkat batu besar, mendirikan lumbung pangan, menggali irigasi, dan mengayuh bahtera bersama, bukan karena perintah, tetapi karena panggilan nurani kolektif.

Ajaibnya, delapan dekade setelah Pancasila dipidatokan sebagai dasar negara, watak dasar komunitas bangsa ini belum pudar. Dalam riset mutakhir yang dilakukan oleh Harvard Human Flourishing Program, Indonesia tercatat sebagai negara paling flourishing, paling berkembang dalam arti kesejahteraan holistik, bukan sekadar ekonomi, tetapi juga sosial dan spiritual.

Hasil tersebut tentu mengejutkan banyak kalangan: bagaimana mungkin negara dengan beragam tantangan sosial, politik, dan ekonomi menempati peringkat tertinggi dalam hal kesejahteraan hidup manusia?

Kunci jawabannya, kata para peneliti, terletak pada kekuatan jalinan sosial: kebersamaan, rasa saling percaya, serta kehangatan komunitas yang menjadi penyangga emosi dan harapan warganya.

Gotong royong, yang sering kali hanya menjadi jargon politik, ternyata hidup nyata di lorong-lorong kampung, di dapur umum saat bencana, di celengan tempat-tempat ibadah, di sistem arisan dan ronda, di mana warga bekerja untuk warga, bukan untuk keuntungan.

Konfirmasi atas hal ini datang pula dari World Giving Index yang selama beberapa tahun terakhir menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia. Bukan negara kaya. Bukan pula negara yang sistem kesejahteraannya sudah sempurna. Tetapi, negara yang masyarakatnya, dalam segala kekurangannya, tetap memilih untuk memberi.

Memberi uang, waktu, tenaga, bahkan empati. Ini adalah wujud dari Pancasila yang berjalan tanpa dipaksa. Sebuah keajaiban moral di tengah dunia yang makin individualistik.

Bahasa Indonesia pun menjadi saksi lain dari keajaiban gotong royong ini. Ia lahir bukan dari pusat kekuasaan, bukan pula berasal dari bahasa penjajah atau kelompok dominan.

Bahasa ini tumbuh dari pertemuan budaya yang mengalir bebas: dari bahasa Melayu pesisir, diperkaya perbendaharaan Buddha Sriwijaya, jaringan keilmuan, kekuasaan, dan perdagangan komunitas Islam, jejak Latin dan Portugis, resonansi misi Kristen dan terjemahan Alkitab, artikulasi jurnalistik pers Tionghoa abad ke-19, serta didukung peran agen-agen komunitas lainnya.

Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sebagai simbol persatuan yang lahir dari keragaman.

Bahasa Indonesia kini menjadi penopang persatuan nasional sekaligus wahana kemajuan ilmu, seni, dan diplomasi. Diakui UNESCO sebagai bahasa resmi sidang umum, ia menunjukkan vitalitas global.

Studi linguistik juga menempatkannya sebagai salah satu bahasa paling bahagia di dunia. Dalam struktur katanya, dalam idiom dan iramanya, ia memantulkan semangat hidup yang penuh harap, bahkan ketika kenyataan tak selalu menggembirakan.

Editor
: Adelia Syafitri
Tags
beritaTerkait
Peringati Hari Lahir Pancasila, Pemkab Batu Bara Gelar Upacara
komentar
beritaTerbaru