BREAKING NEWS
Senin, 18 Agustus 2025

TELAT MERDEKA

Redaksi - Minggu, 17 Agustus 2025 17:40 WIB
TELAT MERDEKA
ilustrasi bendera merah putih (foto : istock)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

OLEH : DAHLAN ISKAN

Kalau saja Indonesia merdeka 45 hari sebelum 17 Agustus 1945; mungkin kita lebih beruntung. Bisa punya pemenang hadiah Nobel.

Tokoh itu tewas dipancung tentara Jepang di Ancol tanggal 3 Juli 1945.

Baca Juga:

Anda sudah tahu siapa nama orang hebat itu: Achmad Mochtar. Setelah dihukum pancung oleh Jepang, mayatnya dimasukkan ke sumur rawa. Lokasinya, kini, di dalam lingkungan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Rawa-rawa di masa lalu.

Anda harus pernah sekali ziarah ke sana. Utamanya para dokter. Tapi Anda harus bayar Rp 150.000. Itu kalau Anda naik mobil bersama satu teman.

Baca Juga:

Bukan Achmad Mochtar yang mengenakan tarif itu. Tapi itu karena Anda harus melewati gerbang lokasi daerah wisata Taman Impian Jaya Ancol.

Menjelang 17 Agustus Jumat lalu saya ziarah ke makam Achmad Mochtar itu. Saya sudah mencoba jelaskan bahwa saya tidak akan rekreasi. Hanya ziarah kubur. Tetap saja harus bayar Rp 150.000. Dugaan saya: itu karena saya tidak punya surat undangan dari Achmad Mochtar bahwa saya hanya akan ke makamnya.

Tidak diragukan lagi: Achmad Mochtar adalah dokter dan peneliti serius pertama yang dimiliki bangsa ini. Ia-lah yang menemukan teori bahwa orang yang mengalami kekurangan vitamin B1 bisa meninggal dunia --karena sakit beri-beri.

Jenis sakit itu pula yang menyebabkan direktur lembaga penelitian penyakit menular dan genom terkemuka, Lembaga Eijkman, meninggal dunia. Ia berkebangsaan Belanda. Profesor. Dokter. Namanya Anda sudah tahu: W.K. Martens.

Martens juga ditangkap tentara Jepang. Seluruh peneliti dan staf di lembaga Eijkman ditangkap Jepang. Tuduhannya: sabotase. Lewat vaksin. Ratusan orang yang disuntik vaksin bikinan Eijkman meninggal dunia.

Vaksin itu dibuat atas perintah tentara Jepang. Begitu semua yang divaksin mati, W.K. Martens ditangkap. Ditahan. Ia tewas di tempat tahanan Jepang. Achmad Mochtar diangkat sebagai penggantinya. Kali pertama orang Indonesia memimpin lembaga penelitian begitu bermutu. Termasuk menemukan obat untuk sakit malaria yang sangat ganas kala itu.

Begitu ganasnya malaria di Jakarta, zaman itu, sampai Belanda membangun Istana di dekat Gambir --Istana Merdeka sekarang. Kota lama Jakarta dianggap rawan malaria --Jakarta Kota sekarang.

Sebagian peneliti di Eijkman masih dalam sekapan. Belum dihukum mati. Sebagian sudah dipancung. Achmad Mochtar ingin menyelamatkan begitu banyak peneliti dari hukuman pancung. Ia melakukan kontak dengan tentara Jepang. Ia akan bersedia mengaku bersalah asal seluruh staf dan peneliti di Eijkman dibebaskan.

Upaya dokter Achmad Mochtar berhasil. Banyak yang dibebaskan. Tapi ia sendiri harus menanggung akibatnya: dijatuhi hukuman mati. Dipancung. Di bawah pohon besar di Ancol. Umurnya saat itu: 56 tahun.

Pohon itu masih ada. Sudah mati. Diabadikan. Bagian bawahnya dilapisi semen. Dicat warna kayu. Agar tidak lapuk. Bagian atasnya dibiarkan asli. Hanya dilindungi cat yang juga warna kayu. Tentu sudah tanpa ranting dan daun.

"Sumurnya di sini," ujar Damanhuri, penjaga makam Belanda itu. Ia pun mengajak saya masuk ke dalam tugu peringatan. Bagian bawah tugu itu segi empat. Terbentuklah ruangan sekitar 3 x 3 meter. "Di bawah lantai ini sumurnya," ujar Damanhuri, lelaki Betawi asli.

Di samping Achmad Mochtar masih ada delapan temannya yang ikut dipancung. Ternyata Jepang tidak membebaskan semua tawanan yang dijanjikannya.

Banyak juga orang Belanda yang dipancung di situ. Kelak, sekian tahun kemudian, setelah sumur berhasil digali, tulang belulang mereka dipindahkan ke lahan seluas 3 hektare di sekitar sumur itu. Itulah komplek Ereveld Ancol sekarang. Anda sudah tahu arti Ereveld --maka kehormatan.

Di atas makam 3 hektare itu nisan-nisan ditancapkan. Warna putih. Mirip makam di Belanda.

Salah satu nisan itu tertulis nama Achmad Mochtar. Juga nama delapan orang dari Lembaga Eijkman. Anda baca sendirilah siapa yang berjasa menemukan di mana lokasi jenasah Achmad Mochtar dibuang Jepang. Banyak literatur tentang ini di Google.

Saya keliling makam itu. Tertata rapi. Terawat baik. Indah. Hijau. Asri. Ada tanggul laut untuk membuat makam tersebut tidak menggelam. Air laut di luar tanggul memang dua meter lebih tinggi dari makam.

Saat saya duduk di gasebo di atas tanggul itu terlihat betapa rendah makam itu dibandingkan air lautnya.

Sebuah yayasan Belanda membangun, merawat dan mengelola makam ini. Yang bekerja di situ 12 orang. Yayasan tersebut juga membawahkan enam makam serupa di Bandung, Semarang, dan Kembang Kuning, Surabaya.

Sekitar 2.000 nisan putih ada di situ. Ada yang pakai nam,a banyak juga yang tidak bernama. Mereka adalah pahlawan (Belanda) tidak dikenal. Bacalah tulisan di nisan-nisan itu: Geexecuteerd. Anda sudah tahu artinya.

Achmad Mochtar lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat. Ayahnya seorang guru. Guru yang sangat hebat. Saking hebatnya sampai masuk koran-koran di zaman itu. Koran berbahasa Belanda.

Sang ayah tugasnya berpindah-pindah. Sampai ke Sumsel. Terakhir di Muara Enim. Lalu menyekolahkan Achmad Mochtar ke Jakarta.

Lulus setingkat SMA, Achmad Mochtar masuk sekolah kedokteran Belanda di Jakarta: Stovia.

Zaman itu pendidikan dokter harus sembilan tahun. Achmad Mochtar lulus tepat waktu: 1916. Begitu jadi dokter, Achmad Mochtar ditugaskan ke pedalaman Sumatera Utara. Di Panyabungan. Di dekat Padang Sidempuan.

Di Panyabungan itulah Achmad Mochtar bertemu peneliti Belanda: W.A.P Schüffner. Si Belanda sedang meneliti penyakit malaria. Ia melihat kemampuan dan kepintaran Achmad Mochtar. Ia pun membuat rekomendasi ke pemerintah Belanda: agar Achmad Mochtar bisa meraih gelar doktor di Belanda. Achmad Mochtar sendiri lantas menganggap W.A.P Schüffner sebagai mentornya.

Di Amsterdam, dr Achmad Mochtar berhasil mencapai gelar doktor. Tahun 1927 --tepat di saat itu di Surabaya lahir Persebaya --Soerabhaiasche Indische Voetbal Bond (SIVB).

Dalam disertasi doktornya, Achmad Mochtar menyangkal menemukan sebelumnya bahwa leptospira sebagai penyebab demam kuning.

Tahun itu juga Achmad Mochtar kembali ke Hindia Belanda dan melanjutkan penelitian tentang leptospirosis. Yakni penyakit menular akibat gigitan nyamuk dan lingkungan yang kotor.

Sayang sekali Achmad Mochtar tewas dipancung Jepang. Seorang ahli sejarah asal Inggris menilai ia layak mendapat hadiah Nobel.

Belakangan, di masa damai, barulah ketahuan: tuduhan Jepang itu salah. Jepang hanya cari kambing hitam. Agar ada yang harus bersalah. Belakangan diketahui bahwa vaksin yang disuntikkan itu telah tercemar. Penyebabnya: kurang hati-hati dalam pengirimannya. Kurang aman.

Yang mengirim vaksin itu tentara Jepang sendiri. Mereka tidak tahu prosedur yang benar bagaimana mengirimkan vaksin.

Ilmuwan yang begitu hebat telah jadi korban kambing hitam. Tragis sekali. Dihukum pancung.

Lebih sebulan kemudian bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah kalah. Indonesia merdeka. Achmad Mochtar telanjur dipancung dan dimasukkan sumur.

Sampai 80 tahun kemudian tetaplah hanya Achmad Mochtar yang layak dapat Hadiah Nobel. Sampai hari ini.

Saat ziarah kemarin itu saya ingin menyerahkan hadiah Nobel kepadanya. Tapi saya bukanlah ketua yayasan Nobel.(disway.id)

penulis adalah wartawan senior*

Editor
: Justin Nova
Tags
beritaTerkait
Memerdekakan Diri dari Penjajahan Digital
Gajah Banteng
Ketua TIDAR Batu Bara Sesalkan Oknum yang Mencoreng Nama DPC Gerindra: "Opininya Sesat dan Tendensius!"
Hidup Rukun dalam  Perbedaan:  Keluarga  Beda Agama di Danau Paris  Aceh Singkil
Kajati Sumut: Jaksa Korban Pembacokan Tidak Pernah Menangani Perkara Atas Nama Pelaku, Diduga Ada Motif Lain dalam Kejadian Ini
Pemkab Deli Serdang Raih Opini WTP dari BPK RI Perwakilan Sumut atas LKPD Tahun Anggaran 2024
komentar
beritaTerbaru