Ustadz Said Heriadi, adalah Aktifis Da'wah Aceh Selatan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Aceh Selatan, Pegawai Kemenag Aceh Selatan, Alumnus Pasantren Nurul Fata Kampung Pisang Labuhan Haji, Aceh Selatan. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
Menghindari Fanatisme: Ijtihad menuntut para ulama untuk berdiskusi, berdialog, dan tidak terperangkap dalam satu mazhab atau pemahaman saja. Ini membantu mencegah fanatisme dan ekstremisme yang seringkali berakar dari pemahaman teks yang kaku dan literal tanpa mempertimbangkan konteks historis dan tujuan syariah.
Membuka Ruang Fleksibilitas: Ijtihad memungkinkan adanya perbedaan pendapat yang sehat (ikhtilaf). Contohnya, dalam masalah perempuan menjadi pemimpin publik, ada ulama yang berpendapat itu dilarang berdasarkan hadis tertentu, sementara ulama lain berijtihad dengan mempertimbangkan kondisi modern, tujuan syariah untuk keadilan, dan konteks hadis tersebut. Ijtihad menciptakan ruang bagi umat untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan kemaslahatan mereka.
3. Menginternalisasi Maqasid al-Syariah (Tujuan Hukum Islam)
Ijtihad bukanlah sekadar mencari dalil untuk membenarkan sesuatu. Sebaliknya, ijtihad adalah proses mendalam untuk memahami maqasid al-syariah, yaitu tujuan luhur dari setiap hukum Islam. Maqasid al-syariah mencakup lima hal pokok: memelihara agama (hifzh al-din), memelihara jiwa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-aql), memelihara keturunan (hifzh al-nasl), dan memelihara harta (hifzh al-mal).
Penerapan dalam Ijtihad: Ketika seorang mujtahid menghadapi masalah baru, ia tidak hanya mencari dalil tekstual, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana keputusannya akan memengaruhi kelima maqasid tersebut. Misalnya, dalam menghadapi pandemi COVID-19, ulama berijtihad bahwa menutup masjid dan menangguhkan salat Jumat adalah tindakan yang diperbolehkan demi menjaga jiwa (hifzh al-nafs) dari penularan penyakit. Keputusan ini menunjukkan bahwa ijtihad mengedepankan tujuan syariah di atas formalitas ibadah.