BREAKING NEWS
Minggu, 05 Oktober 2025

Rekonstruksi Pemikiran Ulama Abdurrauf As-Singkili dalam Membangun Aceh Berbasis Ilmu, Adab, dan Keadilan

Redaksi - Sabtu, 04 Oktober 2025 18:19 WIB
Rekonstruksi Pemikiran Ulama Abdurrauf As-Singkili dalam Membangun Aceh Berbasis Ilmu, Adab, dan Keadilan
Dr (c) Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag.,MA., Mahasiswa program Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (foto: Ist/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Dr (c) Laksamana Muflih Iskandar Hasibuan, Lc, M.Ag.,MA.

TULISAN ini merekonstruksi pemikiran ulama besar Aceh, Syekh Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala), sebagai dasar filosofis pembangunan Aceh masa kini. Gagasan beliau, yang berakar pada ilmu, akhlak, dan keadilan, menunjukkan relevansi luar biasa terhadap tantangan sosial, moral, dan pendidikan di Aceh modern.

Melalui kajian terhadap karya-karya monumental seperti Mir'ât al-Ṭullâb dan Tanbîh al-Masyî, tulisan ini berupaya menafsirkan kembali nilai-nilai yang pernah menghidupkan peradaban Islam di Serambi Makkah, untuk dijadikan pedoman membangun masyarakat Aceh yang berdaya, beradab, dan berkeadilan.

Baca Juga:

Dalam sejarah panjang intelektual Islam Nusantara, nama Abdurrauf As-Singkili (1615–1693 M) menempati posisi yang sangat penting. Beliau merupakan ulama besar dari Aceh yang menjadi poros penyebaran ilmu fikih dan tasawuf ke seluruh kawasan Asia Tenggara.

Sebagai Qadhi Malikul Adil (mufti tertinggi) di masa Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah, beliau bukan hanya seorang cendekiawan keagamaan, tetapi juga seorang arsitek sosial yang membangun tatanan hukum, pendidikan, dan moral masyarakat Aceh.

Pemikiran Abdurrauf As-Singkili menjadi bukti bahwa agama dan pembangunan tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangannya, keunggulan suatu negeri bukan ditentukan oleh kemakmuran material semata, tetapi oleh tegaknya ilmu dan adab.

Pemikiran ini kini menjadi landasan penting untuk merefleksikan arah pembangunan Aceh pascareformasi dan otonomi khusus, agar tetap berpijak pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.

Tulisan ini mencoba melakukan rekonstruksi pemikiran Abdurrauf As-Singkili secara akademik untuk menggali relevansinya dalam membangun Aceh modern, dengan menyoroti tiga aspek utama: (1) ilmu sebagai dasar kemajuan, (2) keadilan sebagai landasan pemerintahan, dan (3) adab sebagai ruh peradaban.

1. Ilmu sebagai Dasar Kemajuan
Dalam karya monumentalnya, Mir'ât al-Ṭullâb fî Tashîl Ma'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li al-Malik al-Wahhâb, Abdurrauf menegaskan bahwa ilmu adalah kunci kemuliaan manusia dan masyarakat.

Beliau menulis bahwa orang yang berilmu bukan hanya mengetahui hukum syariat, tetapi juga memahami maqâshid (tujuan moral) dari setiap ajaran Islam. Dengan kata lain, ilmu bukan sekadar pengetahuan normatif, tetapi juga daya pembebas yang mendorong masyarakat menuju kemandirian dan keadilan sosial.

Relevansi pandangan ini sangat besar bagi Aceh masa kini. Dalam situasi di mana pembangunan sering terjebak dalam dimensi fisik dan ekonomi, Abdurrauf mengingatkan bahwa "membangun negeri berarti membangun akal dan nurani."

Pendidikan yang hanya mencetak tenaga kerja tanpa adab akan melahirkan kemajuan yang rapuh.

Karenanya, rekonstruksi pemikiran Abdurrauf menuntut revitalisasi pendidikan Aceh berbasis nilai: dayah, sekolah, dan universitas harus kembali menempatkan ilmu sebagai sarana mencetak manusia beradab, bukan sekadar profesional terampil. Ilmu harus membentuk integritas, bukan sekadar kecerdasan.

2. Keadilan sebagai Landasan Pemerintahan
Sebagai mufti Kesultanan Aceh, Abdurrauf sangat menekankan pentingnya keadilan dalam pemerintahan. Dalam tafsir dan fatwanya, beliau sering mengutip ayat "Innallāha ya'muru bil-'adli wal-ihsān" (QS. An-Nahl: 90), sebagai prinsip utama tata kelola kekuasaan.

Dalam konteks sejarah, Mir'ât al-Ṭullâb bukan hanya kitab hukum, tetapi juga manual pemerintahan yang menata hubungan antara penguasa, ulama, dan rakyat. Di situ, Abdurrauf menegaskan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang menegakkan hukum Allah dengan ilmu dan kasih sayang, bukan dengan kekuasaan semata.

Dalam konteks pembangunan Aceh masa kini, pesan ini sangat relevan. Keadilan yang dimaksud Abdurrauf bukan hanya dalam hukum formal, tetapi juga keadilan sosial dan moral: pemerataan pendidikan, kesejahteraan, serta penegakan hukum yang berlandaskan etika.

Tanpa keadilan, pembangunan hanya akan memperluas jurang sosial dan melemahkan legitimasi moral pemerintah.

Dengan demikian, pembangunan Aceh seharusnya dimaknai sebagai "upaya kolektif menegakkan keadilan sosial berbasis ilmu dan iman." Inilah bentuk nyata maqâshid asy-syarî'ah dalam praksis pemerintahan.

3. Adab sebagai Ruh Peradaban
Salah satu warisan intelektual Abdurrauf yang paling mendalam adalah pandangannya tentang adab (moralitas). Dalam Tanbîh al-Masyî beliau menulis bahwa perjalanan spiritual manusia menuju Allah hanya akan sampai bila disertai tashfiyah al-qalb (penyucian hati).

Adab menjadi jembatan antara ilmu dan amal, antara syariat dan hakikat.

Dalam konteks sosial, adab adalah prinsip harmoni dalam hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Maka, masyarakat tanpa adab akan kehilangan arah, meski berlimpah ilmu dan kekayaan.

Bagi Abdurrauf, peradaban Islam Aceh tidak akan bertahan tanpa fondasi adab yang kokoh.

Relevansinya kini sangat terasa: krisis moral di kalangan elite dan generasi muda menunjukkan lemahnya pendidikan karakter dan spiritualitas. Karena itu, rekonstruksi pemikiran Abdurrauf menuntut agar pendidikan moral dan spiritual menjadi inti dari pembangunan manusia Aceh.

Adab bukan hanya etika pribadi, tetapi juga prinsip publik, menyangkut cara memimpin, berdiskusi, berpolitik, dan bermasyarakat. Aceh akan kuat jika masyarakatnya berilmu dan beradab; karena adab melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan melahirkan kekuatan sosial.

4. Integrasi Nilai Abdurrauf dalam Pembangunan Aceh Kontemporer
Merevitalisasi pemikiran Abdurrauf As-Singkili berarti membangun paradigma pembangunan berbasis nilai Islam dan kebudayaan lokal Aceh. Paradigma ini dapat dirumuskan dalam tiga pilar kebijakan:
- Pendidikan Berbasis Nilai dan Adab – reformasi kurikulum Aceh agar tidak hanya menekankan kompetensi akademik, tetapi juga karakter dan spiritualitas. Integrasi nilai-nilai dayah ke dalam pendidikan umum menjadi langkah strategis.
- Pemerintahan Berkeadilan dan Transparan – menegakkan tata kelola pemerintahan yang bersih, amanah, dan berpihak kepada rakyat miskin, sesuai prinsip 'adl dan ihsân.
- Kebudayaan sebagai Sumber Etos Sosial – menghidupkan kembali nilai-nilai Islam Aceh yang moderat, terbuka, dan berakar pada warisan ulama. Seni, sastra, dan adat harus menjadi media pendidikan moral kolektif.

Dengan tiga pilar ini, pemikiran Abdurrauf tidak hanya menjadi warisan sejarah, tetapi juga ideologi pembangunan yang hidup.

Pemikiran Abdurrauf As-Singkili merupakan aset intelektual yang sangat berharga bagi Aceh. Dalam setiap baris tulisannya, tersimpan pesan peradaban: bahwa kemajuan hanya akan lahir dari ilmu yang beradab dan kekuasaan yang adil.

Rekonstruksi pemikirannya menunjukkan bahwa pembangunan Aceh tidak cukup diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi harus diukur dari kemuliaan moral masyarakatnya. Abdurrauf mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab akan menyesatkan, dan kekuasaan tanpa keadilan akan menghancurkan.

Maka, membangun Aceh berarti membangkitkan kembali ruh Syiah Kuala, ruh ilmu, adab, dan keadilan, sebagai jalan menuju kebangkitan sejati.

Wallāhu a'lam bi al-shawa*


*) Penulis adalahMahasiswa program Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru