BREAKING NEWS
Kamis, 23 Oktober 2025

Katakan Tidak pada Bullying

Redaksi - Kamis, 23 Oktober 2025 08:07 WIB
Katakan Tidak pada Bullying
Ilustrasi. (foto: AI/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Kewajiban hukum tersebut berakar pada prinsip due diligence negara dan lembaga pendidikan untuk melindungi setiap individu dari kekerasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Regulasi tersebut menegaskan bahwa kampus bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga ruang sosial yang wajib aman dari segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan.

Artinya, ketika sebuah universitas gagal mencegah atau menindak perundungan, kegagalan itu dapat dikategorikan sebagai kelalaian institusional-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi melalui pembiaran.

Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi masih terjebak pada pendekatan defensif. Ketika kasus perundungan mencuat, respons yang muncul sering kali berorientasi pada penyelamatan citra lembaga, bukan pemulihan korban.

Sikap ini memperlihatkan bahwa sebagian institusi belum menjadikan hak atas rasa aman sebagai bagian dari tata kelola kampus. Padahal, tanggung jawab lembaga pendidikan tidak berhenti pada pemberian sanksi, melainkan juga mencakup pemulihan psikologis dan sosial bagi korban serta reformasi sistemik agar peristiwa serupa tidak terulang.

Budaya diam tidak hanya melindungi pelaku, tetapi juga menumpulkan kepekaan moral sivitas akademika. Ketika penderitaan korban diabaikan, universitas kehilangan fungsi dasarnya sebagai ruang pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan.

Sejatinya, kekerasan berbasis relasi kuasa-termasuk bullying-merupakan bentuk (nilai) pelanggaran terhadap hak atas martabat dan rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Dari Sanksi ke Transformasi Budaya Kampus
Pencegahan perundungan tidak cukup berhenti pada pemberian sanksi terhadap pelaku. Hukuman memang berperan sebagai instrumen akuntabilitas, tetapi tidak menyentuh akar persoalan jika tidak disertai perubahan budaya.

Dalam pandangan Bourdieu, kekerasan sering kali hadir dalam bentuk kekerasan simbolik (symbolic violence)-yakni bentuk dominasi yang tersamar di balik praktik sosial dan bahasa sehari-hari.

Di ruang akademik, kekerasan simbolik termanifestasi melalui candaan yang merendahkan, pengucilan sosial, atau komentar bernada menghina yang dianggap "biasa."

Selain itu, teori Spiral of Silence ala Neumann menjelaskan mengapa korban dan saksi perundungan sering memilih diam. Individu cenderung menyesuaikan diri dengan opini mayoritas karena takut dikucilkan.

Dalam hal kampus, budaya diam ini menciptakan legitimasi sosial terhadap perilaku tidak etis. Ketika diam menjadi norma, kekerasan menemukan tempatnya untuk tumbuh tanpa perlawanan.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Dari Lamborghini hingga Porsche: Hasil Lelang Doni Salmanan Disetorkan ke Kas Negara
Wajib Belajar 13 Tahun Mulai Tahun Depan, Pemerintah Perluas Bantuan PIP
IHSG Tergelincir 0,21%, Saham ANTM dan TLKM Paling Menyakitkan
Program MBG dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Kolaborasi Pemprov dan Brimob, Bobby Tekankan Peredaran Narkoba di Sumut Masih Tinggi
Kematian Mahasiswa Unud Jadi Atensi Kementerian HAM, Tim Bali Diturunkan untuk Pantau Kasus
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru