BREAKING NEWS
Kamis, 23 Oktober 2025

Katakan Tidak pada Bullying

Redaksi - Kamis, 23 Oktober 2025 08:07 WIB
Katakan Tidak pada Bullying
Ilustrasi. (foto: AI/BITV)
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh:Raihan Muhammad.

RABU, 15 Oktober 2025, kampus Universitas Udayana diguncang tragedi. Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi semester tujuh, ditemukan wafat. Dugaan kuat mengarah pada bullying alias perundungan yang dialaminya dari sesama mahasiswa.


Percakapan grup WhatsApp yang tersebar usai kejadian memperlihatkan wajah dingin empati di lingkungan akademik yang seharusnya menjunjung nilai kemanusiaan.

Baca Juga:

Peristiwa ini menggambarkan rapuhnya kesadaran sosial di dunia pendidikan tinggi. Ejekan yang dikemas sebagai lelucon telah berubah menjadi senjata psikologis yang mematikan.

Bullying bukan sekadar tindakan fisik, melainkan kekerasan sistemik yang tumbuh subur ketika penghinaan dianggap biasa dan penderitaan dianggap hiburan.

Kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi proses berpikir dan tumbuh justru menunjukkan kegagalannya dalam menumbuhkan rasa aman dan saling menghargai.

Banyak institusi pendidikan masih memandang perundungan sebagai persoalan interpersonal, bukan pelanggaran terhadap martabat manusia. Sikap diam dan pembiaran hanya memperkuat budaya kekerasan yang tak terlihat, menjadikan korban semakin terisolasi dan tak berdaya.

Kasus Timothy menjadi peringatan keras bahwa pendidikan tanpa empati hanyalah ilusi moral. Pencegahan dan penanganan perundungan harus berdiri di atas sistem yang tegas dan manusiawi-bukan sekadar sanksi administratif, tetapi komitmen nyata untuk menciptakan lingkungan akademik yang beradab.

Menolak bullying berarti menegakkan kemanusiaan, dan setiap institusi wajib memulainya dari dirinya sendiri.

Budaya Diam di Kampus dan Tanggung Jawab Institusi Pendidikan
Fenomena perundungan di perguruan tinggi tidak lahir dari ruang hampa; melainkan tumbuh dari budaya diam (culture of silence) yang masih mengakar kuat di lingkungan akademik.

Banyak mahasiswa enggan bersuara karena takut dijauhi, dicap pembuat masalah, atau khawatir merusak nama baik institusi. Diam menjadi bentuk "kepatuhan sosial" yang justru menormalisasi kekerasan psikologis.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Laporan Situasi HAM 2023 menegaskan bahwa institusi pendidikan memiliki kewajiban untuk mencegah dan menindak segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perundungan di lingkungan akademik. Kewajiban tersebut bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban hukum.

Kewajiban hukum tersebut berakar pada prinsip due diligence negara dan lembaga pendidikan untuk melindungi setiap individu dari kekerasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Regulasi tersebut menegaskan bahwa kampus bukan sekadar ruang akademik, tetapi juga ruang sosial yang wajib aman dari segala bentuk kekerasan, termasuk perundungan.

Artinya, ketika sebuah universitas gagal mencegah atau menindak perundungan, kegagalan itu dapat dikategorikan sebagai kelalaian institusional-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi melalui pembiaran.

Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi masih terjebak pada pendekatan defensif. Ketika kasus perundungan mencuat, respons yang muncul sering kali berorientasi pada penyelamatan citra lembaga, bukan pemulihan korban.

Sikap ini memperlihatkan bahwa sebagian institusi belum menjadikan hak atas rasa aman sebagai bagian dari tata kelola kampus. Padahal, tanggung jawab lembaga pendidikan tidak berhenti pada pemberian sanksi, melainkan juga mencakup pemulihan psikologis dan sosial bagi korban serta reformasi sistemik agar peristiwa serupa tidak terulang.

Budaya diam tidak hanya melindungi pelaku, tetapi juga menumpulkan kepekaan moral sivitas akademika. Ketika penderitaan korban diabaikan, universitas kehilangan fungsi dasarnya sebagai ruang pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan.

Sejatinya, kekerasan berbasis relasi kuasa-termasuk bullying-merupakan bentuk (nilai) pelanggaran terhadap hak atas martabat dan rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Dari Sanksi ke Transformasi Budaya Kampus
Pencegahan perundungan tidak cukup berhenti pada pemberian sanksi terhadap pelaku. Hukuman memang berperan sebagai instrumen akuntabilitas, tetapi tidak menyentuh akar persoalan jika tidak disertai perubahan budaya.

Dalam pandangan Bourdieu, kekerasan sering kali hadir dalam bentuk kekerasan simbolik (symbolic violence)-yakni bentuk dominasi yang tersamar di balik praktik sosial dan bahasa sehari-hari.

Di ruang akademik, kekerasan simbolik termanifestasi melalui candaan yang merendahkan, pengucilan sosial, atau komentar bernada menghina yang dianggap "biasa."

Selain itu, teori Spiral of Silence ala Neumann menjelaskan mengapa korban dan saksi perundungan sering memilih diam. Individu cenderung menyesuaikan diri dengan opini mayoritas karena takut dikucilkan.

Dalam hal kampus, budaya diam ini menciptakan legitimasi sosial terhadap perilaku tidak etis. Ketika diam menjadi norma, kekerasan menemukan tempatnya untuk tumbuh tanpa perlawanan.

Oleh karena itu, penanganan bullying di perguruan tinggi harus menempuh dua jalur: struktural dan kultural. Jalur struktural diwujudkan melalui kebijakan tegas dan sistem pengawasan yang berpihak pada korban, sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Sementara jalur kultural menuntut transformasi nilai-mendorong empati, keterbukaan, dan keberanian moral dalam setiap interaksi akademik.

Transformasi ini hanya akan efektif jika pimpinan universitas, dosen, dan mahasiswa menjadi bagian dari perubahan tersebut. Teori Social Learning ala Bandura menegaskan bahwa perilaku manusia dibentuk melalui proses observasi dan peniruan.

Keteladanan perilaku yang etis dari pihak otoritatif kampus akan berperan penting dalam membangun norma baru yang menolak kekerasan. Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga arena pembelajaran etika kemanusiaan.

Tragedi yang menimpa Timothy ini menjadi cermin paling jernih bahwa pendidikan tinggi di Indonesia belum sepenuhnya beranjak dari paradigma kognitif menuju paradigma kemanusiaan. Pengetahuan tanpa nilai akan kehilangan maknanya ketika ruang belajar justru menjadi tempat seseorang kehilangan harga diri.

Membangun kampus yang bebas dari perundungan berarti menghidupkan kembali akal budi sebagai inti dari pendidikan itu sendiri-sebuah ruang yang menumbuhkan empati, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi martabat manusia.

Hanya dengan itu, pendidikan dapat benar-benar disebut berhasil: bukan karena mencetak lulusan yang pintar berbicara, melainkan manusia yang mampu memperlakukan sesamanya dengan hormat dan kasih.* (news.detik.com)


*) Penulis adalahMahasiswa Magister Hukum UNNES; Pegiat Hak Asasi Manusia; Pemerhati Politik dan Hukum.

Editor
: Adelia Syafitri
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Dari Lamborghini hingga Porsche: Hasil Lelang Doni Salmanan Disetorkan ke Kas Negara
Wajib Belajar 13 Tahun Mulai Tahun Depan, Pemerintah Perluas Bantuan PIP
IHSG Tergelincir 0,21%, Saham ANTM dan TLKM Paling Menyakitkan
Program MBG dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Kolaborasi Pemprov dan Brimob, Bobby Tekankan Peredaran Narkoba di Sumut Masih Tinggi
Kematian Mahasiswa Unud Jadi Atensi Kementerian HAM, Tim Bali Diturunkan untuk Pantau Kasus
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru