BREAKING NEWS
Kamis, 27 November 2025
SELAMAT HARI GURU

Rektor USU 2025-2030 Tidak Layak Dilantik: Membawa Badai Reputasi ke Kampus?

Redaksi - Minggu, 23 November 2025 07:39 WIB
Rektor USU 2025-2030 Tidak Layak Dilantik: Membawa Badai Reputasi ke Kampus?
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Ketika MWA dan senat kampus mengejar pemilihan sebelum persoalan hukum usai, maka fungsi pengawasan tertinggi (monitoring, akuntabilitas) justru menampakkan kelemahan. Ini bukan hanya soal figur, tetapi tentang sistem yang membiarkan proses strategis institutif terpapar risiko tinggi.

Etika Akademik Lebih dari Legality
Legalitas (belum ada putusan bersalah) bukan satu-satunya tolok ukur kelayakan rektor. Etika akademik juga berbicara tentang persepsi publik dan keteladanan pimpinan.

Dugaan plagiarisme, hubungan politik yang kuat dengan aktor publik, serta keterlibatan potensial dalam jaringan kekuasaan, semua ini meskipun belum terbukti secara hukum, telah merusak posisi moral seorang rektor di mata institusi.

Etika akademik mensyaratkan independensi akademik, transparansi, dan kemandirian institusi dari politik kekuasaan (Berdahl 1990; Zgaga 2012). Tetapi dalam kasus USU, narasi yang muncul justru kebalikannya, yaitu kampus tampak menjadi bagian dari permainan politik, dan bukan pusat produksi ilmu yang mandiri dan dipercaya.

Ketidaklayakan Pelantikan Rektor USU
Pelantikan rektor di perguruan tinggi negeri seperti USU, bukan sekadar urusan internal institusi, yang juga terikat oleh mandat hukum dan peraturan yang jelas, yang menuntut integritas, bebas dari konflik kepentingan, serta kebebasan dari masalah hukum yang berpotensi merugikan institusi.

UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, secara tegas menyebutkan bahwa, rektor adalah pemimpin akademik dan administratif yang harus menjadi teladan moral dan profesional, dengan integritas tinggi dalam mengelola institusi (Indonesia 2012).

Ketika seorang calon rektor sedang dipanggil sebagai saksi atau terkait kasus korupsi besar, meskipun secara hukum belum dijatuhi vonis bersalah, fakta ini menimbulkan presumption of reputational risk yang secara langsung bertentangan dengan asas kepemimpinan yang bebas dari konflik dan menjaga martabat universitas (Barker 2021).

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang tata cara pemilihan dan pelantikan rektor PTN menegaskan bahwa, calon rektor tidak boleh menghadapi permasalahan hukum yang sedang berjalan yang berpotensi menurunkan kredibilitas institusi.

Ketika pemilihan rektor dilakukan di tengah proses hukum yang masih aktif, legitimasi moral pelantikan menjadi dipertanyakan. Meski prosedur administratif formal terpenuhi, institusi gagal memenuhi kewajiban etis dan hukum untuk melindungi reputasinya sendiri sebelum mengeksekusi pelantikan.

Bahwa mandat konstitusi universitas melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik menekankan bahwa, tata kelola PTN harus mengutamakan akuntabilitas dan transparansi.

Dalam konteks USU, percepatan proses pemilihan saat calon rektor masih berada dalam sorotan hukum menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip ini.

Institusi seharusnya menangguhkan proses atau setidaknya menunggu kejelasan hukum untuk memastikan reputasi universitas tidak dirugikan. Ketika langkah itu diabaikan, universitas secara implisit mengabaikan tanggung jawab hukum dan moralnya terhadap publik, mahasiswa, staf, mitra riset, dan masyarakat luas.

Editor
: Redaksi
0 komentar
Tags
beritaTerkait
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru