BREAKING NEWS
Kamis, 27 November 2025
SELAMAT HARI GURU

Rektor USU 2025-2030 Tidak Layak Dilantik: Membawa Badai Reputasi ke Kampus?

Redaksi - Minggu, 23 November 2025 07:39 WIB
Rektor USU 2025-2030 Tidak Layak Dilantik: Membawa Badai Reputasi ke Kampus?
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

Oleh Ruben Cornelius Siagian

KAMPUS besar tak boleh dijalankan seperti arena politik. Namun itulah yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU). Perhatian publik terfokus pada keabsahan kepemimpinan rektor.

Bukan karena performa ilmiahnya, melainkan karena beban kontroversi yang menempatkan institusi ini dalam pusaran kredibilitas.

Ketika Muryanto Amin dipanggil sebagai saksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara senilai sekitar Rp231,8 miliar, ia tidak lagi sekadar figur akademik, bahwa ia menjadi simbol potensi kegagalan tata kelola kampus.

Baca Juga:

Mangkir dari panggilan pemeriksaan, disebut sebagai bagian dari "lingkaran" aktor politik-kekuasaan yang bermain dalam proyek publik, bahwa semua ini bukan lagi masalah pribadi, tetapi masalah kelembagaan.

Dalam literatur tata kelola perguruan tinggi, rektor idealnya bebas dari konflik kepentingan, bebas dari permasalahan hukum aktif, dan berstatus sebagai teladan moral (Stefkovich dan Michaele O'Brien 2004; Sugarman 2005).

Tetapi ketika rektor masih berada dalam bayang-bayang proses hukum, maka institusi tampak lebih rentan daripada kuat.

Untuk USU, tantangan itu riil. Pertama, rektor yang dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus besar, artinya reputasi institusi ikut terseret. Kedua, pemilihan rektor berlangsung saat dinamika hukum masih berjalan. Bahwa tim pemilihan, senat akademik, dan Majelis Wali Amanat (MWA) tampak bergerak cepat meskipun panggilan pemeriksaan masih belum selesai.

Ketiga, publik dan internal kampus melihat keheningan institusi sebagai sinyal penundaan akuntabilitas, bahwa universitas yang menutup diri dalam suasana krisis reputasi mulai kehilangan legitimasi.

Risiko Reputasi dan Mekanisme Tata Kelola
Reputasi universitas bukan aset abstrak. Ia tercermin dalam sejauh mana publik, yaitu dari mahasiswa, orang tua, mitra industri, hingga lembaga donor internasional, bahwa percaya kampus tersebut berdiri atas integritas, bukan hanya gedung atau nama besar.

Di tengah dinamika ini, pelantikan rektor yang kontroversial menjadi titik rawan reputasi. Hal ini bukan karena orangnya secara hukum sudah bersalah, tapi karena institusi memilih mengabaikan sinyal risiko.

Penelitian governance di perguruan tinggi menegaskan: "When reputational risk reaches institutional level, precautionary action is imperative, even before legal verdict."

Di situ letak kegagalan USU. Bahwa bukan sekadar menunggu putusan, tapi memilih untuk melaju seperti tak ada badai.

Ketika MWA dan senat kampus mengejar pemilihan sebelum persoalan hukum usai, maka fungsi pengawasan tertinggi (monitoring, akuntabilitas) justru menampakkan kelemahan. Ini bukan hanya soal figur, tetapi tentang sistem yang membiarkan proses strategis institutif terpapar risiko tinggi.

Etika Akademik Lebih dari Legality
Legalitas (belum ada putusan bersalah) bukan satu-satunya tolok ukur kelayakan rektor. Etika akademik juga berbicara tentang persepsi publik dan keteladanan pimpinan.

Dugaan plagiarisme, hubungan politik yang kuat dengan aktor publik, serta keterlibatan potensial dalam jaringan kekuasaan, semua ini meskipun belum terbukti secara hukum, telah merusak posisi moral seorang rektor di mata institusi.

Etika akademik mensyaratkan independensi akademik, transparansi, dan kemandirian institusi dari politik kekuasaan (Berdahl 1990; Zgaga 2012). Tetapi dalam kasus USU, narasi yang muncul justru kebalikannya, yaitu kampus tampak menjadi bagian dari permainan politik, dan bukan pusat produksi ilmu yang mandiri dan dipercaya.

Ketidaklayakan Pelantikan Rektor USU
Pelantikan rektor di perguruan tinggi negeri seperti USU, bukan sekadar urusan internal institusi, yang juga terikat oleh mandat hukum dan peraturan yang jelas, yang menuntut integritas, bebas dari konflik kepentingan, serta kebebasan dari masalah hukum yang berpotensi merugikan institusi.

UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, secara tegas menyebutkan bahwa, rektor adalah pemimpin akademik dan administratif yang harus menjadi teladan moral dan profesional, dengan integritas tinggi dalam mengelola institusi (Indonesia 2012).

Ketika seorang calon rektor sedang dipanggil sebagai saksi atau terkait kasus korupsi besar, meskipun secara hukum belum dijatuhi vonis bersalah, fakta ini menimbulkan presumption of reputational risk yang secara langsung bertentangan dengan asas kepemimpinan yang bebas dari konflik dan menjaga martabat universitas (Barker 2021).

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang tata cara pemilihan dan pelantikan rektor PTN menegaskan bahwa, calon rektor tidak boleh menghadapi permasalahan hukum yang sedang berjalan yang berpotensi menurunkan kredibilitas institusi.

Ketika pemilihan rektor dilakukan di tengah proses hukum yang masih aktif, legitimasi moral pelantikan menjadi dipertanyakan. Meski prosedur administratif formal terpenuhi, institusi gagal memenuhi kewajiban etis dan hukum untuk melindungi reputasinya sendiri sebelum mengeksekusi pelantikan.

Bahwa mandat konstitusi universitas melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik menekankan bahwa, tata kelola PTN harus mengutamakan akuntabilitas dan transparansi.

Dalam konteks USU, percepatan proses pemilihan saat calon rektor masih berada dalam sorotan hukum menunjukkan ketidaksesuaian dengan prinsip ini.

Institusi seharusnya menangguhkan proses atau setidaknya menunggu kejelasan hukum untuk memastikan reputasi universitas tidak dirugikan. Ketika langkah itu diabaikan, universitas secara implisit mengabaikan tanggung jawab hukum dan moralnya terhadap publik, mahasiswa, staf, mitra riset, dan masyarakat luas.

Prinsip good university governance yang menjadi pedoman dalam UU dan pedoman internal MWA, menekankan bahwa rektor tidak boleh membawa risiko hukum atau politik yang dapat merusak reputasi institusi.

Fakta keterlibatan calon rektor dalam lingkaran proyek publik yang sedang diperiksa KPK menunjukkan bahwa, syarat ini jelas tidak terpenuhi. Akibatnya, pelantikan dalam kondisi demikian tidak hanya menimbulkan risiko reputasi, tetapi juga menyalahi asas tata kelola akademik yang sah, yang mengutamakan integritas, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap institusi.

Legitimasi Pimpinan Rapuh
Seorang rektor yang masih menghadapi proses hukum membawa beban ganda, yaitu beban administrasi kampus dan beban reputasi institusi.

Waktu dan energi yang mestinya dialokasikan untuk strategi pengembangan akademik, kini tersedot ke ranah perlindungan diri dan klarifikasi publik. Mitra riset internasional pun makin menjaga jarak jika kepala institusi bagian dari sorotan integritas.

Akibatnya, legitimasi pimpinan menjadi rapuh, meskipun secara formal ia dilantik atau terpilih, secara simbolik ia telah kehilangan "kebebasan dari konflik" yang menjadi syarat utama tata kelola baik.

Penundaan Bukan Kekuatan, Tetapi Tanda Kelemahan
Menunda pelantikan atau menangguhkan proses sebelum krisis reputasi mereda bukan berarti menolak hasil pemilihan, tetapi melindungi institusi. Sebaliknya, melanjutkan pelantikan dalam suasana kontroversi adalah langkah berisiko.

Kerusakan reputasi, mungkin tidak muncul secara langsung, tapi tersimpan dalam sejumlah variable, antara lain; kemitraan industri yang ragu, mutu penerimaan mahasiswa menurun, penelitian kolaboratif yang tertunda.

Kampus besar seperti USU mestinya memberi sinyal kuat, yaitu integritas diwajibkan, bukan optional. Ketika kampus memilih jalan berbeda, maka ia melepaskan hak moralnya sebagai institusi keilmuan.

Antara Reputasi atau Aliansi Kekuasaan
Kasus USU lebih dari sekadar satu nama atau satu proses pemilihan rektor. Bahwa ini adalah cermin kelemahan sistemik tata kelola akademik di Indonesia, dan ketika integritas tergantikan oleh kalkulasi politik.

Juga ketika reputasi institusi dipertaruhkan demi hegemonik kepemimpinan, serta ketika kampus menjadi milik kepentingan, bukan komunitas keilmuan.

Pilihan yang dihadapi USU sekarang sederhana namun berat. Yaitu menjaga kredibilitas kampus atau memilih figur yang mungkin membawa bagasi besar ke meja kampus.

Dan keputusan itu tidak hanya berdampak lima tahun periode rektorat. Ia berdampak 20 tahun reputasi institusi, jejaring riset, kualitas lulusan, dan kepercayaan publik.

Jika memang kampus besar seperti USU ingin kembali ke jalur ilmiah dan moral, maka langkah pertama bukan visi lima tahun ke depan, tetapi resolusi atas persoalan hari ini.

Mengevaluasi kepemimpinan, membersihkan konflik kepentingan, dan memastikan bahwa pemilihan rektor tidak hanya sah secara legal, tetapi terpercaya secara moral dan akademik.

Karena kampus bukan arena politik yang bisa dimanipulasi dengan suara dan aliansi. Kampus adalah institusi keilmuan yang harus dijaga keteguhan tata kelolanya sebelum badai reputasi menghancurkan fondasinya.*

Penulis adalah Koordinator Riset Center Cendikiawan dan Peneliti Muda Indonesia

Editor
: Redaksi
0 komentar
Tags
beritaTerkait
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru