Ironisnya, di tengah meningkatnya protes, Wakil Bupati Pandeglang, Iing Andri Supriadi, menyatakan bahwa masyarakat Bangkonol mendukung program tersebut.
Pernyataan tersebut langsung dibantah oleh warga dan dianggap tidak mencerminkan aspirasi yang sebenarnya.
"Kami merasa tidak pernah menyatakan persetujuan. Jangan jadikan nama kami sebagai legitimasi politik," ujar seorang koordinator aksi.
Justiani juga menyoroti perlunya transisi menuju sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi, seperti Waste to Energy (WTE), yang saat ini telah diadopsi oleh sejumlah negara maju.
Menurutnya, konsep WTE memungkinkan sampah diolah menjadi energi, serta mendorong masyarakat untuk lebih aktif memilah dan mengelola sampah dari sumbernya.
"Sampah bisa menjadi sumber daya, bukan sekadar limbah. Tapi butuh kemauan politik, regulasi yang kuat, dan partisipasi aktif masyarakat," tambahnya.
Melihat meningkatnya resistensi publik, para pemerhati lingkungan dan masyarakat sipil mendorong Pemkab Pandeglang untuk mengevaluasi kembali kebijakan kerja sama tersebut.
Mereka meminta agar setiap keputusan terkait pengelolaan sampah melibatkan partisipasi publik secara utuh, transparan, dan berbasis kajian ilmiah.
"Kebijakan lingkungan hidup bukan sekadar angka-angka administratif, tetapi menyangkut keberlanjutan dan keselamatan generasi mendatang," tutup Justiani.*