BREAKING NEWS
Selasa, 14 Oktober 2025

Jika Hayati Punya Pilihan: Membaca Patriarki di Balik *Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Abyadi Siregar - Jumat, 10 Oktober 2025 17:27 WIB
Berita Terkini, Eksklusif di Saluran WhatsApp bitvonline.com
+ Gabung

OLEH :Rheva Destiny T

Romantisnya kisah tragis Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sering kali hanya diingat publik lewat adegan tenggelamnya kapal dan kematian yang mengharukan.

Padahal, jauh sebelum kapal itu karam, Hayati sudah lebih dulu "tenggelam" dalam sistem sosial dan budaya yang membungkam suaranya sebagai perempuan.

Baca Juga:

Novel karya Hamka yang terbit pada 1938 tak bisa dilepaskan dari konteks sosial Minangkabau kala itu—sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan garis keturunan.

Namun, dalam adaptasi film besutan Sunil Soraya pada 2013, tema tersebut justru menemukan relevansinya di era modern: perempuan masih terus dijadikan simbol kehormatan keluarga, tetapi jarang diberi ruang untuk menjadi pemilik kehendaknya sendiri.

Hayati digambarkan sebagai perempuan lembut dan "putri Minang sejati"—berbakti kepada keluarga dan patuh pada adat. Namun di balik ketundukan itu, tersimpan ironi besar: setiap langkah hidupnya adalah hasil keputusan orang lain.

Ia mencintai Zainuddin, pemuda berdarah campuran Bugis-Minang, namun dipaksa menolak karena dianggap tidak "murni." Ia kemudian dijodohkan dengan Aziz, lelaki yang lebih "terhormat", meski kebahagiaannya menjadi taruhannya.

Film ini menyuguhkan banyak adegan yang mempertegas bahwa keputusan perempuan—terutama dalam urusan cinta dan pernikahan—nyaris tak pernah menjadi miliknya sendiri.

Ketika Hayati akhirnya berani menulis surat pada Zainuddin untuk meminta maaf dan mengakui cintanya, ia tetap dihukum oleh takdir dan moralitas masyarakat yang menolak memberi ruang bagi perempuan untuk menebus kesalahan.

Bell Hooks (1984) pernah menulis, "Patriarki menuntut perempuan untuk mencintai tanpa suara dan mengabdi tanpa penghargaan." Hayati menjadi simbol nyata dari kutipan tersebut: cintanya tulus, namun tidak dianggap sah karena tak sesuai dengan norma sosial yang dibangun oleh sistem patriarki.

Hamka mungkin bermaksud menulis kisah cinta yang tragis akibat perbedaan kelas sosial. Namun tanpa disadari, ia juga menyentil mekanisme kekuasaan yang lebih dalam—bagaimana tubuh perempuan dijadikan alat legitimasi moral dan status sosial keluarga.

Dalam adat Minangkabau yang matrilineal, perempuan secara simbolik memang memiliki posisi tinggi sebagai pewaris harta dan garis keturunan.

Namun dalam praktik sosial dan keagamaan, peran publik dan pengambilan keputusan tetap dikuasai laki-laki. Perempuan memiliki status, tetapi tidak memiliki kuasa.

Adegan pernikahan Hayati dengan Aziz menjadi contoh nyata. Keputusan itu sepenuhnya diambil keluarga; bukan hasil dialog batin Hayati, melainkan bentuk kepatuhan.

Hal ini sejalan dengan konsep patriarchal mode of production dari Sylvia Walby (1990), yaitu bentuk patriarki yang bekerja melalui institusi sosial dan keluarga—menjadikan perempuan sumber kehormatan sekaligus objek kontrol.

Delapan puluh tahun setelah novel itu ditulis, kapal patriarki ternyata belum juga karam. Bentuknya mungkin berubah, namun substansinya tetap sama. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) 2024, tercatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia—naik 9,77% dari tahun sebelumnya.

Editor
: Mutiara
0 komentar
Tags
beritaTerkait
Universitas Moestopo Perkuat Diplomasi Akademik, Ketua Prodi Hubungan Internasional Sampaikan Relevansi Bandung
Baru Bercerai, Kini Azizah Salsha Berpose Mesra dengan Nadif Zahiruddin
Sidang Praperadilan Nadiem Makarim: Kejagung Bawa 90 Bukti dan Satu Ahli ke PN Jaksel
Masyarakat Sumut Ingin Langkah Nyata: Kasus Ijazah Jokowi Harus Jadi Momentum Supremasi Hukum
Universitas Al-Azhar Gelar Kuliah Perdana, Bahas Penguatan Ekosistem Kewirausahaan Perguruan Tinggi di Sumut
Azizah Salsha Isyaratkan Move On Usai Cerai dari Pratama Arhan
komentar
Masuk untuk memberikan atau membalas komentar.
beritaTerbaru